"Saya tahu Mas Azizi udah telanjur malas buat ngomong sama media, tapi apa malah enggak baik kalau terus diem-diem kaya gini sedangkan asumsi orang-orang di luar makin liar soal pernikahan yang Mas Azizi jalani sama Mbak Christy?"
Azizi sedang duduk sambil menyilangkan kaki di teras belakang Arumdalu—nama florist milik Bunda—yang terasa tenang sambil membiarkan kepulan asap dari cerutu yang ia selipkan di antara jari telunjuk dan tengahnya mengudara bebas ketika suara Aisha, salah satu orang kepercayaan mendiang ibunya, menggema di telinga.
Sejak tadi, pria itu memang tidak banyak bicara. Seolah-olah, kebisingan media yang berdengung layaknya suara ribuan lebah bukan lagi menjelma menjadi sesuatu yang membuatnya merasa susah. Entah karena perkataan Christy seminggu lalu yang diakui atau tidak menyakiti ego dan harga dirinya sedemikian rupa atau karena ia juga telah lelah menghadapi tuntutan publik yang makin hari makin lapar saja dengan kehidupan pribadinya.
Barangkali, Azizi benar-benar sudah sampai pada titik jemu dengan kehidupannya sendiri. Tidak ada lagi yang perlu dia luruskan setengah mati seperti hari-hari sebelum ini. Toh, semuanya juga hampir sampai pada titik akhir. Tinggal menunggu surat panggilan sidang yang gugatannya telah Christy registrasikan ke pengadilan lewat kuasa hukumnya dan setelah itu tidak ada lagi apa pun di antara mereka berdua.
"Memang menurutmu masih perlu, ya, saya ngomong mati-matian di depan publik buat meluruskan sesuatu yang jelas-jelas udah clear gitu?" Azizi menurunkan kakinya yang semula dia silangkan di atas paha. Sedikit membungkukkan badan agar dapat mencapai asbak di atas meja guna mematikan rokok yang baru dia isap kurang dari tiga menit lepas. "Semua yang manajemen sampaikan udah cukup menjawab, kok. Saya bukan lagi bagian dari The Netz dan manajemen itu. Kalau media masih lapar, ya itu bukan tanggung jawab saya buat bikin kenyang mereka."
Aisha terdengar bergumam. Wanita yang kira-kira berusia dua hingga tiga tahun di bawah Azizi Asa itu tampak beranjak dari duduknya sambil memeluk bouquet bunga yang baru saja selesai dia tata sedemikian rupa sesuai pesanan customer beberapa jam lepas.
"Kalau saya boleh ngasih pendapat, sih, Mas..." Aisha menggantung ucapannya sebentar, memberikan sentuhan terakhir pada bouquet bunga lily di hadapannya sebelum melanjutkan, "Mas Azizi masih perlu banget, lho, ngomong di depan media. Kalau bukan buat ngasih klarifikasi soal keputusan Mas Azizi buat hengkang dari The Netz, seenggaknya, buat ngasih kejelasan soal hubungan yang sebenarnya Mas Azizi sama Mbak Christy punya. Orang-orang 'kan masih tahunya cerita versi Kak Noe. Yang Mbak Christy cuma disebut sebagai penggemar obsesifnya Mas Azizi aja itu, tuh. Emangnya Mas Azizi enggak kasihan kalau selamanya orang-orang bakal beranggapan demikian soal Mbak Christy? Nanti baby-nya juga kasihan, Mas, jejak digital orang tuanya jelek gitu."
Azizi menolehkan kepala ke arah Aisha yang terlihat begitu santai saat menuturkan kalimatnya barusan. Seolah-olah apa yang baru dikatakan oleh gadis berambut sebahu itu bukanlah sesuatu yang penting, yang harus sekali dia pikirkan matang-matang setiap struktur kata dan kalimatnya.
Azizi membuang napas tak seberapa lama setelah mengalihkan tatap dari sosok Aisha. Terdengar begitu berat dan penuh beban, sejalan dengan sorot matanya yang nanar ketika menatap foto ultrasound berwarna hitam putih di atas meja—foto USG pertama dan satu-satunya yang mungkin akan Azizi punya.
Dia kembali mengingat kejadian seminggu lepas di ruang perawatan Christy yang begitu kental dengan aroma alcohol dan antiseptik. Kejadian yang membuat ego dan harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya akibat perkataan Christy tentang janin yang perempuan itu kandung, kejadian yang membuat Azizi hampir tidak percaya bahwa perempuan yang selama dua dekade ini ia kenal ternyata mengartikan otoritas terhadap diri sendiri dengan cara yang paling tidak masuk akal dan tidak pernah Azizi sangka-sangka.