"Aaaahhh... sakiiittt... uuuggghhh..."
"Ya, terus, Nyonya... mulai terlihat rambutnya sedikit,"
"Uuuggghhh...."
"Terus... terus... ambilkan kain flanel lagi."
Kamar sebelah masih sibuk dengan persalinan istri Shogun sementara itu di ruangan ini, seorang pria sedang bersimpuh tegak di atas tatami. Di depannya adalah sang Ibu. "Bagaimana, Hiashi. Kakak iparmu sudah dalam persalinan. Anak itu butuh ayah. Kesogunan ini juga butuh pemimpin. Sebagai saudara kembar kakakmu, kau lah yang lebih berhak untuk memimpin. Semua keputusanmu."
"Apakah saya harus menikahinya?"
"Tentu saja. Ini demi masa depan keturunan Hyuga."
"Bagaimana jika aku punya calon lain?"
"Putuskan hubungan. Tak ada yang lebih berharga dari pada Hikari. Ingat, pernikahan dengan Hikari adalah tanda bersatunya Hyuga dengan Otsusuki."
Hiashi menutup matanya. Tangannya terkepal, seolah tidak ingin melepas sesuatu namun terpaksa dia lepaskan. Giginya mengatup karena kekesalan teramat sangat. Dengan berat hati, dia berkata,"Baiklah, saya bersedia."
Suara jeritan dari kamar sebelah terdengar lagi. Kali ini diikuti oleh suara tangisan bayi. Wanita paruh baya itu seketika sumringah. "Bayinya lahir." Dia berdiri lalu menuju kamar sebelah.
Hiashi juga berdiri. Dengan tangan terkepal dan kepala menunduk. Dia pun pergi meninggalkan tempat itu.
---*---
"Kakanda," Hikari menyambut Hiashi yang baru saja berkeliling, mengamati wilayah kesogunannya. Wanita itu melepas outer kimono Hiashi lalu menerima ciuman di dahinya dari Hiashi.
"Di mana Neji?"
"Dia tidur siang." Hikari menoleh pada pelayannya. Sambil mengulurkan jubah Hiashi, dia berkata,"Natsu, Bawa jubah ini ke penatu. Setelah itu, urus bak mandi. Aku rasa yang mulia shogun akan mandi setelah perjalanan jauh."
"Baik, Nyonya."
Pelayan itu menerima jubah lalu berlalu dari situ.
"Kakanda, bagaimana kalau anda makan siang dulu sambil menanti kamar mandi siap."
"Boleh juga."
"Ehm," Hikari mengangguk, lalu menarik lengan Hiashi untuk menuju ruang makan.
---*---
Hiashi bersandar di dinding kolam. Uap mengepul di permukaan air kolam. Seseorang di balik dinding, berjongkok, meniup melalui corong bambu untuk mengatur nyala api. Hiashi mendesah, dia menutup matanya dengan handuk basah lalu mencoba tidur karena merasa nyaman.
Dia baru saja tidur ayam. Namun belaian seseorang di kedua sisi pundaknya, membuatnya terbangun. Dia menoleh dan melihat Hikari tersenyum manis. Dia hanya memakai yukata sepaha dengan rambut terurai.
"Boleh saya bergabung, kakanda?"
"Tenti saja."
Hikari melepas yukatanya. Kakinya yang jenjang memasuki kolam. Lalu duduk memunggungi Hiashi. Dia bersandar di dada Hiashi, lalu mendesah lega.
Hiashi menangkupksn kedua tangannya di dada Hikari. Hikari menoleh dan tangannya mengelus dagu Hiashi. Hiashi semakin menunduk. Bibir mereka semakin mendekat. Yang tadinya sentuhan berubah menjadi lumatan. Begitu pula tangan Hiashi. Yang tadinya hanya menangkup, kini meremas. Hikari menggeliat, membusungkan dadanya ketika jemari Hiashi menyodok liang kewanitaannya.
"Oooohhh...."
Wanita itu meleguh. Hiashi berputar sehingga mengukungnya. Dia sudah sangat siap dan Hiashi memasukinya.
Desahhannya bergetar bersahutan dengsn deru nafas Hiashi. Terdengar seperti rintihan namun itu adalah tanda bahwa Hikari menikmatinya.
Wanita itu pun merasa puas. Dia mengelus dada Hiashi. Hiashi memberikan kecupan di dahinya sebagai pengakhir. "Terima kasih, istriku. Itu tadi luar biasa."
"Ehm... saya selalu merindukan saat-saat bersama anda."
"Tentu. Mentaslah lebih dulu. Aku yakin Neji menunggumu untuk dininabobokan."
"Ehm... baiklah, Baginda."
Hikari berdiri lalu keluar dari kolam. Dia menarik yukatanya yang ada di lantai lalu memakainya. Sebelum pergi, dia berjongkok di samping kolam lalu mencuri ciuman di bibir Hiashi.
"Hem, kau nakal."
Dia terkekeh lalu keluar dari area pemandian. Hiashi mendesah. Dia pun memanggil seseorang. "Kemarilah. Aku tahu kau masih di sana."
Bunyi sesuatu terjatuh. Hiashi yakin kalau itu corong bambu. "Shogun memerintahmu."
Yang dipanggil bergegas menuju ke depan Hiashi. Dia berdiri, menunduk. Sisi bajunya ada yang kotor karena jelaga. Bau asap menguar di tubuhnya. Dia tetap menunduk. Air mata menetes di ujung hidungnya. Hiashi tahu itu dan memejamkan matanya sejenak karena kesal.
"Mendekatlah," Hiashi mengulurkan tangannya.
"Saya... saya sedang berkeringat... dan kotor... tidak pantas mendekat."
"Air akan membersihkannya. Kemarilah," Hiashi menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar wanita itu segera mendekat.
Wanita itu pun mendekat. Hiashi langsung menariknya. Dia terpekik dan akhirnya tercebur dalam kolam. Hiashi menghampirinya lalu menariknya agar muncul di permukaan lalu memberikan ciuman yang intim dan menuntut.
Wanita itu membalas ciuman dengan tangisan parau. Hiashi tahu kepedihan wanita itu sehingga memeluk erat hingga meremas tubuhnya.
"Kau tahu hatiku hanyalah untukmu, Natsu. Untukmu selamanya," Hiashi berbisik. Dia pun menangis sesenggukan di pundak wanita yang dipanggilnya Natsu itu.
"Saya percaya, Baginda. Sangat percaya."
"Oh, Natsu. Kasihku... pujaan hatiku," Hiashi mengatakan itu sambil meremas tubuh Natsu dalam pelukannya. Situasi semakin panas hingga menjurus pada keintiman yang lebih. Bibir Hiashi turun menciumi leher Natsu, bahkan memberikan tanda di sana.
Natsu mendongak dan akses untuk Hiashi pun meluas. Bajunya yang basah tak juga mampu meredamkan situasi yang semakin memanas. Natsu memekik saat Hiashi sudah menggigit putingnya. Entah sejak kapan Hiashi memelorotkan kerahnya. Yang pasti dia sudah setengah telanjang sekarang.
Apalagi saat Hiashi mengangkat ujung kimononya hingga tersingkap di atas pahanya. Di bawah air, tangan Hiashi mengelus pahanya, lalu menekan pantatnya tepat kejantanan Hiashi masuk ke dalam dirinya.
"Uuuggghhh...." Dia meleguh, merasakan kembali hal yang selama ini dia rindukan.
Hiashi menatapnya sendu. Dia mengelus dada Hiashi. Mereka saling tersenyum. Hiashi mulai menggerakkan pantanya. Dia merintih-rintih merasakan sensasi erotis di antara pahanya.
Hingga tubuh Hiashi bergetar. Pria itu memeluk erat. "Gooohhhh!!!!!"
Hiashi meleguh saat menyeburkan semuanya di dalam wanita itu. "Oh... Natsu... oh..." Hiashi masih memeluknya. Menariknya hingga telungkup di dada Hiashi sementara pria itu bersandar di dinding kolam.
"Jangan sedih lagi. Semua kulakukan untuk kewajiban."
Natsu mengangguk. "Kapan kita bertemu lagi, Baginda."
"Secepatnya."
Natsu menyandar di dada Hiashi. Hiashi mencium dahinya, kedua matanya lalu kecupan di bibirnya. "Aku mencintaimu," ucap Hiashi sungguh-sungguh.
"Saya juga. Saya sangat mencintai anda."
THE End