20: Perigi Perangai

38 7 19
                                    

Hari Minggu yang cerah ini digunakan oleh Altheo untuk izin untuk pulang atas alasan yang mendesak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Minggu yang cerah ini digunakan oleh Altheo untuk izin untuk pulang atas alasan yang mendesak. Bingung bagaimana bisa? Tentu saja karena Fernandoz alias ayahnya sendiri tidak peduli dengan apa yang Altheo ingin lakukan.

"Ternyata jadi durhaka ada gunanya, eh astagfirullah.. ketularan si Bagus pasti ini," cibir Altheo.

Dan sudah lewat tiga hari sejak dia mengatakan hal itu kepada Anara. Selama tiga hari itu pula gadis pemilik helaian senja itu tidak pernah terlihat. Kalau kata Fernandoz, gadis itu izin lagi——tidak mengherankan, sebab bagaimanapun Anara anaknya direktur kan? Meski begitu,  Altheo sering menanyakan kabarnya kepada Estrid, namun Estrid pun sama tidak tahunya.

Dibandingkan itu, P-SHS yang bergerak diam-diam itu lancar tanpa hambatan. Altheo amat sangat bersyukur sebab siswa-siswi unggulan di sekolah ini mau berada di pihaknya——meski ada yang masih kukuh, dan yang satunya lagi mencurigakan. Tapi itu bukan masalah, sebab Aditya yang bahkan bisa menjinakkan seorang Marlo ada di sini. Karena itu juga, di Minggu pagi yang cerah dan bersahabat ini, Altheo bisa keluar sejenak.

"Bat, si Bagus mana?" tanya Altheo ketika ia sampai ke Freedom Library, perpustakaan umum yang menjadi tempat janji temu mereka bertiga.

Batara yang tiba lebih dulu mengangkat bahu lalu kembali melirik buku miliknya, "Nggak tau nih, biasanya dia memang ngaret kan?"

"Iya juga, wong dia mandi nya lama, aku yakin dia sedang menghabiskan waktu di kamar mandi," celoteh Altheo sembari duduk di samping kawan karibnya ini.

Di dalam Freedom Library, suasana terasa damai dan hening. Cahaya lembut dari lampu-lampu baca menyinari deretan buku-buku yang tertata rapi di rak-rak kayu yang berbau khas. Kursi-kursi nyaman tersebar di berbagai sudut, beberapa di antaranya sudah dihuni oleh pengunjung yang tenggelam dalam dunia bacaannya.

Altheo mengalihkan pandangannya ke luar jendela besar di belakang mereka. Di luar, gerimis tipis menari-nari seperti partikel kuantum yang tak menentu, seolah-olah mereka juga menunggu keputusan dari alam semesta.

"Lho, hujan?" beo Altheo.

Batara mengangguk, "Daerah sini emang lagi sering hujan, bahkan sekitar rumahku jadi banjir, terus ada nenek-nenek aneh lagi,"

"Nenek-nenek aneh?" tanya Altheo bingung.

Batara mengangguk lagi, "Iya, katanya dia sering pergi ke pasar yang jaraknya nggak jauh dari rumahmu, lalu sekitar rumahku yang nggak jauh dari sungai-"

"Terus anehnya dimana?"

Batara menghela nafas berat, "Nenek itu berbicara dengan bahasa Jawa kuno, dan kata-katanya seolah meramal masa depan,"

"Wah keren," celetuk Altheo kagum. "Aku juga mau-"

Tak!

Suara buku yang berisi tujuh ratus halaman itu digunakan oleh Batara untuk memukul kepala Altheo membuat kawannya itu mengaduh kesakitan.

Uprising StartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang