28: Monopoli, Suara, Memori, kemana pilar?

33 7 41
                                    

"Ngomong-ngomong kau selalu ke tempat ini semenjak tiga bulan lalu, apa ibu mu tidak marah?" tanya Altheo kepada Bagus yang tengah menyalakan TV di ruang tengah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ngomong-ngomong kau selalu ke tempat ini semenjak tiga bulan lalu, apa ibu mu tidak marah?" tanya Altheo kepada Bagus yang tengah menyalakan TV di ruang tengah.

Bagus menoleh, "Tidak tuh, lagipula mama nggak pernah marah kalau nama mu langsung ku sebut,"

"Jadi aku alibi mu begitu?" tebak Altheo yang hanya mendapat respon berupa cengiran dari kawannya itu.

"Batara benar-benar akan ke sini hari ini?" tanya Bagus. Bukan karena apa, tapi ia masih yakin bahwa kawan Sumatra nya itu masih marah kepadanya. Ada perbedaan besar antara nurani Altheo dan Batara, salah satunya adalah bagaimana mereka marah, dan bagaimana mereka menerima permintaan maaf dari orang lain.

"Dia sudah memaafkan mu, tenang saja," celetuk Altheo.

Bagus terkekeh mendengarnya, "Halah kau bercanda kan?"

"Untuk apa aku bercanda?"

Bagus memutar bola matanya malas, "Gini ya.. si Batara kalau marah itu lama, lebih lama dari kita berdua,"

"Tapi paling lama dua bulan, kan?" sanggah Altheo cepat.

Waktu terasa berjalan lambat, nyaris membeku. Seperti medan magnet yang saling tolak, Bagus merasa seolah ada dinding tak kasat mata antara dirinya dan Altheo, apalagi Batara yang terkenal dengan amarahnya yang meledak-ledak. Altheo sudah memaafkan, tetapi Bagus tahu, bahwa rasa bersalah itu tidak akan hilang sepenuhnya hanya dengan Altheo yang memaafkan nya.

"Tapi, Al, aku sudah berbuat kesalahan besar.."

Ruangan itu terasa seperti sebuah bejana penuh tegangan, dua kutub berbeda yang mencoba menyatu dalam harmoni persahabatan. Setiap getar halus dalam udara seakan memancing Bagus untuk berpikir kembali tentang tempramen Batara, persahabatan mereka bertiga yang retak, dan apakah segalanya bisa kembali seperti dulu.

"Semua manusia pernah salah, dan kau juga, kau tidak berpikir panjang waktu itu, aku yakin Batara memaklumi nya"

Namun Altheo, seperti proton dalam inti atom, stabil  memberi Bagus sedikit kepercayaan bahwa mungkin, segalanya bisa kembali pulih. Altheo percaya pada Batara, kepercayaan seperti jaringan akar pohon, kuat meski tersembunyi di bawah tanah.

"Al-"

Tiba-tiba, ketukan terdengar. Seperti petir yang menyambar di tengah hujan deras, suara itu menggetarkan udara, memecah ketenangan yang semu. Bagus merasa seluruh tubuhnya menegang, seolah-olah detik berikutnya akan membawa badai yang tak terhindarkan. Namun, Altheo bertindak cepat dan di balik pintu itu, berdirilah Batara.

Uprising StartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang