"Bukan aku, tapi kita"
Anara tercekat mendengarnya. Secara logika, akan menguntungkan bila mereka berdua berada pada sisi yang sama. Namun siapa yang bisa tahu bahwa itu tidak akan mengancam salah satu dari mereka? Altheo pasti sudah memikirkannya, tapi tetap saja untuk kali ini-
"Tidak, Al,"
-Anara memilih untuk menolak.
"Kamu bisa beroperasi di belakang kok, hanya saja, An.. aku benar-benar butuh dirimu di sini" tutur Altheo. Tidak terlihat sedikitpun kekesalan sebab Anara baru saja menolak tawarannya.
"Maaf, Al," ucap Anara sungguh-sungguh.
Bohong kalau Altheo tidak merasa kecewa mendengarnya. Namun di sisi lain dia menekankan dirinya untuk tetap objektif. Karena semua ini bisa gagal bila dia subjektif saat menghadapinya "An, Mungkin terdengar tidak sopan, tapi bisakah kamu memberitahuku apa alasannya?"
Anara terdiam, dia memejamkan matanya sejenak. "No offense, tapi coba pikirkan ulang, Al. Jika hal ini terwujud, peluang keberhasilan nya 70%, namun kegagalan memiliki peluang 60%"
"Lebih unggul yang berhasil kan?"
"Bukan tentang hal itu, Al. Peluang 60% itu bukan hanya memuat kegagalan materi, melainkan juga nyawa. Kehidupan tidak punya tombol re-start, that's why i can't do this, Al"
Tatapan Altheo tampak menyelidik. "Ada pengalaman?" Altheo tetap terbayang akan sosok Anara sedari awal pertemuan mereka.Ekspresinya, sorot matanya, senyumannya, bahkan gestur kecil seperti bagaimana jarinya terhenti saat mengatakannya.
Rasa takut.
Itulah yang terpancar dari wajah Anara saat mengatakan secara detail tentang kemungkinan dan persentase tersebut. Sorot matanya seakan memandang jauh, ke hari yang telah berlalu, yang tak dapat lagi dikembalikan.
Hal apa yang bisa membuatnya sampai seperti ini?
"Nothing," jawab Anara. Dia berbalik dan melangkah pergi. "Sudah ya, aku harus-"
"Bahkan meski dulu kakakmu terlibat?" ujar Altheo terpaksa mengeluarkan hal yang sebenarnya tidak pernah ingin ia bahas.
Langkah Anara terhenti. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya menjawab. "Al, jangan menyelam terlalu dalam, karena tekanan air yang ada bisa saja menenggelamkan mu dan aku tidak ingin itu terjadi,"
Anara keluar dari ruang seni. Meninggalkan Altheo dengan sejuta puspas yang abstrak. Altheo melihatnya——jelas sekali. Semua tindakan Anara dari awal mereka bertemu, tatapan, perangai, dan senyumannya sangatlah jelas.
Seakan tengah membatasi samudra. Seolah tidak ingin ditemukan.
◌12: Tiga Bujang 'B'
Harusnya situasi kelas berjalan seperti biasa——bahkan mungkin harusnya terasa lebih nikmat dan tenang. Tapi kok kayak ada yang kurang ya?"Dit, ngerasa nggak?" bisik Marlo pada Aditya yang duduk di depannya.
"Ngerasa?" beo Aditya. "Maksudmu, situasi kelas yang seperti kuburan ini?"
Marlo mengangguk. "Biasanya kan ada Longwei dan Abiasa yang bikin ulah diketuai oleh Yona, dan kemaren ada Altheo yang nambah-nambahin kan?"
Suasana kelas itu terasa hampa. Semua kursi dan meja tertata rapi, namun atmosfernya dingin dan sunyi. Papan tulis masih penuh dengan coretan pelajaran, tetapi tak ada yang memperhatikan. Di sudut ruangan, buku-buku tertumpuk diam, seolah menunggu sentuhan yang tak pernah datang. Biasanya, ada gelak tawa dan canda riang yang mengisi setiap sudut, namun kini hanya ada hening yang menyelimuti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uprising Start
Fiksi RemajaPREQUEL NEMESIS YANG BERFOKUS PADA TAHUN 2013, ARE YOU READY? UNTUK READER BARU, BACA NEMESIS DULU YAK Anara sang putri senja. Itulah julukan yang diberikan kepada dirinya akibat helaian rambut berwarna senja turunan gen dari kakeknya. Semua orang m...