01 - Bantal

49 33 38
                                    

***

Satu tahun kemudian…

   Derap langkah kaki terdengar memenuhi sepenjuru lorong. Sekumpulan pria bertubuh besar nan kekar yang berjejer di depan sebuah pintu ruangan, saling menatap satu sama lain sembari memikirkan, siapa yang berani datang ke tempat mereka di waktu yang tak memungkinkan ini?

   Sejurus kemudian, sepasang suami dan istri mendatangi mereka, dan meminta sekumpulan penjaga tersebut, membukakan pintu untuk keduanya.

“Ya! Berani-beraninya kau menghalangi langkah kami?! Jugeullae?!” gertak Liane. Tangan kanannya ia angkat, seakan ingin menempeleng kepala para penjaga yang menghadangnya.

    Sebagai suami yang baik dengan kesabaran seluas samudera, Lucian berusaha menenangkan sang istri yang tersulut emosi.

“Sayang, sudah, gak usah marah-marah lagi, ya? Selama ini kan, kita hanya bertemu dengan nyonya Carabella di luar. Jadi, wajar saja jika mereka tak mengenali kita.”

    Sembari meredam amarah Liane yang memuncak, Lucian mengeluarkan sepuncuk surat yang kemudian diberikannya ke para penjaga di hadapannya. Seusai membaca isi pesan yang tertulis di dalamnya, sekumpulan pria bertubuh besar nan kekar itupun, mengizinkan sepasang suami istri tersebut, masuk ke dalam ruangan yang mereka jaga dengan ketat.

    Liane dan Lucian bergegas memasuki ruangan untuk menemui seorang CEO wanita yang merupakan pemilik dari sebuah gallery seni, untuk menanyakan perihal perjanjian kontrak.

    Di lain sisi, sesosok berpakaian serba hitam sedari tadi memerhatikan gerak-gerik sepasang pasutri tersebut. Sesaat setelah Liane dan Lucian memasuki ruangan, sosok itu memancing perhatian para penjaga agar mereka berkumpul di suatu sudut tempat lainnya.

   Ketika para penjaga terperangkap ke dalam jebakannya, sosok misterius itu lekas berjalan mengendap-endap memasuki ruangan bawah tanah untuk mengambil suatu barang berharga.

...

   Lucian dan Liane menduduki sofa panjang yang empuk. Keduanya sempat saling berkontak mata, sebelum akhirnya Carabella mendatangi mereka berdua.

   Carabella duduk di hadapan sepasang pasutri itu. Ia meraih sebatang rokok di meja, menyalakannya dengan korek api, lalu mengisapnya. “Apa yang membuat kalian datang kemari menemuiku?” Dia bertanya sambil menghembuskan asap rokok dari kedua lubang hidungnya.

“Jadi, begini ... Kemarin kan, kami sudah menginvestasikan karya seni kami ke gallery Mbak Bella. Tetapi, mengapa uang yang seharusnya kami peroleh, belum masuk, ya?” ujar Lucian perlahan-lahan untuk menghindari kesalahpahaman.

   Carabella menganguk-anggukkan kepalanya, dan meletakkan putung rokok yang ia isap di asbak. Kemudian, dia mengambil sebuah amplop cokelat tebal dari dalam laci mejanya, dan memberikannya pada Lucian.

“Ini uangnya. Tapi, setengah dulu gak apa-apa, ya? Masalahnya tuh kemarin, ada banyak kendala di gallery, jadi, saya sampai melupakan kontrak kerja sama kita,” ungkap Carabella sambil mengulas senyum di akhir kalimat.

      Bukannya gusar akan perkataan dan kelalaian Carabella, justru Liane maupun Lucian malah tak mempermasalahkan hal itu. Bahkan mereka berniat untuk menginvestasikan kembali karya seninya.

“Gak masalah kok, Mbak! Saya bisa bayangin seberapa repotnya Mbak menghandle semuanya,” balas Liane seraya terkekeh. “Kalau misalkan saya ingin menginvestasikan karya seni lagi, apakah boleh?” lanjutkan sedikit ragu-ragu.

“Oh! Tentu saja boleh! Bagaimana kalau misalnya kita lihat bareng-bareng barangnya?” tutur Carabella antusias.

   Lucian beranjak berdiri kala mendengar perkataannya. “Boleh, Mbak. Kebetulan barangnya sudah saya letakkan di ruang bawah tanah.”

***

   Liane, Lucian, dan Carabella melangkahkan kakinya memasuki ruang bawah tanah. Beberapa saat setelahnya, mereka bertiga menjumpai sebuah benda yang masih ditutup dengan sehelai kain.

   Carabella bergegas mendatangi barang tersebut, lalu membuka kain yang menutupnya. Dia terlihat antusias melihat karya baru yang akan dipajang di gallery seninya. Sementara Lucian dan Liane, hanya diam memerhatikannya.

    Sesaat Carabella membuka kain yang menutupi sebuah karya seni, raut wajah antusiasnya lantas memudar kala melihat wujudnya. Ia sontak melempar tatapan tajam pada sepasang suami dan istri yang berdiri di belakangnya.

“Mengapa bentuknya seperti ini?” tanyanya berusaha menahan amarah. Sejujurnya ia sangat dongkol, sebab karya seni yang dilihatnya tadi adalah sebuah bantal yang disusun, dan membentuk jari tengah yang seakan dibuat untuk mengejeknya.

   Liane bersedekap sambil mengulas seringai. “Bukankah itu karya seni yang sungguh bagus? Sebenarnya sih, saya gak berniat untuk menginvestasikan barang itu ke gallery anda, melainkan saya ingin memberikannya khusus untuk anda.”

   Tak lama setelah Liane berujar, datang salah seorang penjaga dengan keadaannya yang sudah babak belur. Pria bertubuh besar nan kekar tersebut menghampiri bosnya untuk menyampaikan apa yang telah terjadi.

   Kala mengetahui infromasi yang disampaikan bawahannya, emosi Carabella meluap-luap hingga ia berniat untuk menyerang sepasang pasutri di hadapannya.
  
   Namun, belum sempat ia beraksi, petugas kepolisian menggeledah ruang bawah tanah lalu menangkapnya. Sedangkan Liane dan Lucian lekas melarikan diri ketika para petugas berwajib datang.

Player of Law Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang