***
Derap langkah kaki berjalan dengan cepat menyusuri lorong yang ramai akan khalayak. Dari pasien, perawat, dokter, hingga penjenguk, menyatu di dalam lorong tersebut. Sosok mereka yang berkerumun itu, seakan terlihat seperti kawanan semut.
Liane, Lucian, dan Aksa memasuki salah sebuah ruangan rawat yang terdiri dari beberapa bilik pasien. Kala mereka menginjakkan kakinya di sana, perhatiannya lekas terpusat pada salah seorang pasien yang mendapati banyak penanganan dari tim medis.
Sesaat salah seorang perawat yang menangani pasien tersebut berjalan melewati mereka, Liane mencegat langkahnya untuk bertanya. “Maaf, pasien yang ada di sana tadi, masih baru kah? Dan apa yang menyebabkannya terluka begitu parah?”
“Iya, pasien itu baru saja tiba sekitar 30 menit yang lalu. Korban mendapati luka tembak di sisi kiri perutnya, dan juga luka bakar akibat ledakan yang tercipta dari kecelakaan mobil tunggal.” Perawat membeberkan infromasi dengan terperinci lantaran mengira bahwa ketiga orang di hadapannya adalah wali dari pasien.
“Bisakah kami menemuinya?” sahut Aksa cemas.
“Ya, boleh. Korban sudah mendapatkan cukup penanganan dari kami, jadi, anda boleh mengunjunginya saat ini. Tetapi, hanya sebentar saja, ya? Soalnya kondisi pasien saat ini cukup buruk, sepatutnya dia dibiarkan beristirahat.”
Seusai mendengarkan arahan dari sang perawat, ketiga orang itu lantas mendatangi korban yang sekujur tubuhnya dibalut dengan perban bak mumi.
Lucian bersimpuh di sebelah ranjang, lalu mendekap tubuh korban dengan pelan agar tak terasa sakit.“Meskipun kedepannya penampilanmu tak secakep dahulu, tapi, aku yakin bahwa kau pasti akan bertemu dengan jodoh yang terbaik. Tenang saja Koku, aku yang akan merawatmu jika tak ada satupun wanita di dunia ini yang mau denganmu hanya karena kondisi fisikmu yang sekarang.” Dia berujar dengan cukup keras sembari menitihkan air mata.
Liane turut menangis hingga tersedu-sedu. Kedua tangan mungilnya menggenggam tubuh korban yang dibalut perban.“Koku Oppa ... Kau sudah bekerja dengan keras. Aku sangat berterima kasih, berkatmu yang selalu melindungi kami. Maafkan aku, karena aku gagal melindungimu. Seharusnya sebagai anggota dari kepolisian, aku menjalankan tugasku. Kau juga bagian dari warga sipil yang harus dilindungi. Maafkan aku … maaf.”
Liane dan Lucian menangis bersama, sementara Aksa berusaha mungkin menahan kesedihannya. Tapi, lama kelamaan dirinya turut terbawa suasana, dan justru ia yang menangis paling histeris.
Lantaran ketiganya yang mencipta kebisingan tersebut, salah seorang pasien yang berada di sampingnya merasa terusik. Dia cergas membuka gordennya yang digunakan sebagai pembatas antar bilik pasien.
“Yaaa! Michyeosseo?!” gertaknya yang membuat mereka bertiga tertegun.
Liane menatap Lucian, begitupun sebaliknya. Aksa turut memandangi keduanya, dan merasakan perasaan yang sama dengan teman-temannya.
“Aneh, bukan? Suaranya seperti familier!” gumam Aksa seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Mungkinkah kita berhalusinasi karena terlalu sedih?” timpal Liane bingung.
Sedangkan Lucian refleks menoleh ke arah sumber suara berasal. Raut wajahnya yang penuh kesedihan itu lantas sirna ketika menyadari suatu hal. Kemudian, dia menepuk rekan-rekannya dan menyuruh keduanya melihat wujud dari pasien yang menegur mereka.
Sesaat mereka berbarengan menatap sosok pasien yang telah menegurnya, raut wajah keduanya berubah menjadi masam. Luapan emosional yang mereka lakukan tadi menjadi sia-sia dalam sekejap.
Orang yang mereka tangisi rupanya sedari tadi bersantai di ranjang sembari memainkan ponselnya yang terlihat baru.
“Saat ambulans membawaku ke rumah sakit, aku meminta petugas untuk berhenti sejenak di toko ponsel. Setelah itu, aku membeli hp baru karena hp yang biasa kugunakan, rusak parah. Bagus, gak? Desainnya elegan, bukan?”
Ankoku dengan entengnya membanggakan hp barunya di depan teman-temannya yang sejak tadi mengkhawatirkannya.
Aksa memasang raut wajah paling kecut di antara kedua rekannya, lalu berujar, “Memang seharusnya orang seperti dia tak perlu ditangisi. Dia kan mantan rubah ekor sembilan, nyawanya masih banyak tuh.”
Sementara Lucian mengepalkan tangannya kuat-kuat. Urat-urat di tangan serta lehernya terlukis dengan jelas di tubuhnya. Amarahnya memuncak, dan tak lagi bisa dibendung.Dia lekas mendatangi Ankoku yang sedari tadi bersantai di kala rekan-rekannya menangisi dirinya. Sejurus kemudian, ia meraih sebilah besi yang entah mengapa bisa berada di bilik pasien, lalu mengayunkannya menargetkan Koku.
Ankoku berhasil menghindari pukulannya, naasnya, karena hal itu, pasien yang sekujur tubuhnya dibalut dengan perban, jadi yang terkena imbasnya.
Kala dia baru saja bangun, dan beranjak duduk di ranjang, besi yang diayunkan dengan sekuat tenaga itu, mengenai dirinya hingga ia kembali kehilangan kesadarannya.
Ankoku, Liane, Aksa, maupun Lucian mematung di tempat menjumpai situasi yang menjadi runyam.
Aksa mendengus kasar sembari memijat-mijat dahinya. "Sumpah bukan temen gua."
***
Gigitan demi gigitan yang lahap menyantap kenikmatan ayam goreng yang masih hangat. Liane mengunyah makanan kesukaannya sambil menonton acara yang ditayangkan di televisi.
Di lain sisi, Lucian berbaring di atas ranjang pasien dan tertidur dengan lelap layaknya bayi. Aksa sibuk memotong buah, tetapi, bukannya diberikan ke rekannya yang sakit, dia malah melahapnya sendiri.
Sedangkan Ankoku malah duduk di kursi, dan asyik membaca salah sebuah dokumen yang tersimpan di tabletnya. Selepas membacanya berulang kali sampai dia merasa muak, dirinya memutuskan untuk berbicara dengan timnya, mengabarkan suatu infromasi yang terdengar kurang menyenangkan.
“Mulai sekarang, lebih berhati-hati. Gerak-gerik kita tak lagi sebebas dahulu,” lontar Ankoku spontan.
“Mengapa tiba-tiba gitu?” sahut Aksa sambil mengunyah potongan buah apel di mulutnya.
“Seseorang telah mengetahui identitas kita. Sehingga mulai saat ini, kita tidak boleh bertindak gegabah, paham?!”"Anjay ... Paham Kak Gem!" balas Lucian. Tak lama setelah dirinya melontarkan kata-kata, Ankoku menimpuk wajahnya dengan keranjang buah.
Ankoku kembali menduduki kursi usai menimpuk rekannya. Ia meraih tabletnya yang tergeletak di atas ranjang sembari menggerutu. "Capek kali punya tim kek gini."
***
Semilir angin berdesir, menerpa helai demi helai rambut cokelat curtain mullet.
Ankoku membuka tutup kaleng soda, lalu menegaknya sampai habis kemudian mencengkeram kalengnya sampai penyok.
Selang beberapa waktu, Liane mendatanginya yang sedari tadi telah menghabiskan waktu di rooftop."Mengapa kau ke sini? Bukannya tadi lagi mukbang bareng Lucian?" tanya Ankoku kala menyadari kehadiran rekannya.
"Wae? Memangnya aku tak boleh menemanimu saat ini? Kalau tak boleh, aku akan kembali." Liane memutar tubuhnya, dan akan melangkah pergi.
Tapi, Ankoku mencegatnya, dan menyuruhnya untuk berdiri di sebelahnya.
Liane menghela napas panjang, lalu menghirup udara segar di kala senja menampakkan keindahannya.
"Aku tak menyangka kalau hidupku akan berubah sedrastis ini," ungkapnya.
"Apa yang membuatmu merasa kalau hidupmu berubah?" tanya Ankoku penasaran.
"Dulu, aku mengira bahwa hidupku akan sangat hancur setelah kepergian ayahku. Tapi, kalian hadir, dan menemani hari-hariku yang hampa. Aku senang bisa bertemu dengan Koku Oppa, Lucian Oppa, dan Aksa Oppa! Meskipun tingkah kalian terkadang kekanakan, tetapi, karena kalianlah yang membuatku bertahan sampai saat ini," papar Liane panjang lebar.
Ankoku yang tadinya berniat menanggapi perkataan Liane secara tak serius, kini berubah. Dia menatap rekan termuda di timnya yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
Koku merangkul bahu Liane, lalu menepuk-nepuk punggungnya seraya mengulas senyum. "Kita akan selalu bersama di saat susah maupun senang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Player of Law
ActionSebuah kelompok yang diisi dengan orang-orang berkesinambungan di dunia hukum, bersatu untuk menangkap para penjahat yang berkeliaran di luar sana. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan untuk menghadapi para target, sangat bertentangan dengan ajar...