***
“Waahhh...”
Suara teriakan yang penuh akan kegembiraan, menyatu dengan hamparan air yang berderu dengan besarnya ombak. Gelombang datang silih berganti, seperti tarian abadi dari bisikan angin. Setiap gulungan ombaknya membawa debaran bahagia yang tak disadari.
Hembusan ombak yang disertai dengan semilir angin, menghembus helaian rambutnya yang tergerai panjang. Liane terpaku di tempatnya, dia mengabadikan panorama lautan.
Sebuah bola yang dibentuk dari pasir, dilemparkannya mengarah Aksa.
“Bodoh banget sih!” Lucian menggertak rekannya lantaran sedari tadi, istana pasir yang mereka bangun tak kunjung usai.
“Ish ... Sabar kek! Memangnya gampang buat bentengnya?!” Aksa balik membentak Lucian sembari membangun benteng yang akan melindungi istana pasirnya.
Lucian yang sudah dongkol, lantas menendang benteng pasir yang sedari tadi tak kelar-kelar dibuat. “Masa sudah 30 menitan kita di sini, belum kelar juga buat benteng doang?! Terus, istananya kapan dong kelarnya? Sampai gua mati dulu, baru jadi gitu?”
Kedua orang itu sibuk beradu mulut karena banyaknya perbedaan di sejumlah hal. Sementara Ankoku duduk di kursi panjang, berteduh di bawah payung besar sambil menikmati pemandangan pantai.
“Aduh ... kenapa ya mereka berdua gak pernah akur? Nanti ujung-ujungnya malah saling suka lagi!” gumam Ankoku mengulas seringai.
Berselang setelah ia bicara, salah seorang anak kecil mendadak mendatanginya, dan memberikannya semangkuk ice cream mint choco tanpa alasan yang jelas.
Posisi Ankoku yang semula menyender pada kursi, lekas bangkit kala menjumpai hal tersebut. “Hei, Nak? Mengapa kau memberikanku ice cream mint choco? Apakah ada yang menyuruhmu?”
Anak kecil itu tak membalas sepatah katapun. Dia langsung pergi dengan raut wajah yang datar dan pucat.
Ankoku tak habis pikir. Ia menoleh ke arah mangkuk ice cream mint choco, dan menyadari adanya secarik kertas yang terselip di antara jari-jarinya. Dia lantas meletakkan ice cream kesukaannya di sebelahnya, lalu membaca isi dari surat yang tampaknya berasal dari anak kecil bergelagat aneh.
Selepas membaca isi dari kertas yang diperolehnya, Ankoku beranjak pergi dan mengikuti jejak si anak kecil tanpa sepengetahuan rekan-rekannya.
...
Ankoku berjalan mengendap-endap membuntuti gadis kecil yang memberikan secarik kertas kepadanya. Hingga mereka tiba di sebuah bangunan kumuh yang tampaknya telah lama terbengkalai.
Ankoku mengikuti gadis kecil tersebut memasuki bangunan terbengkalai. Kala dirinya menginjakkan kakinya di dalam, dia mendapati sejumlah anak-anak di bawah umur yang melakukan pekerjaan berat.
Dirinya terpaku di tempat menjumpai pemandangan tak mengenakan itu.
“Paman, Ibuku pernah bercerita bahwa anda adalah orang yang hebat! Maka dari itu, ketika saya melihat kehadiran Paman di pantai, saya langsung mendatangi Paman karena berpikir bahwa Paman bisa membantu kami,” papar gadis kecil yang sebelumnya memberikan semangkuk mint choco pada Ankoku.
Ankoku menghela napas panjang. Ia duduk bersimpuh di hadapan sang gadis kecil, lalu membelai surai rambutnya dengan lembut. “Nak, sudah berapa lama kalian berada di sini? Apakah kalian bekerja karena disuruh oleh orang tua kalian?”
“Kami sudah lama di sini, Paman! Dan orang tua kami ... mereka tak ada sangkut pautnya dengan ini. Kami di bawa ke sini oleh om-om bertubuh besar yang mengatakan bahwa dia akan memberikan banyak permen dan cokelat.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Player of Law
ActionSebuah kelompok yang diisi dengan orang-orang berkesinambungan di dunia hukum, bersatu untuk menangkap para penjahat yang berkeliaran di luar sana. Akan tetapi, metode yang mereka gunakan untuk menghadapi para target, sangat bertentangan dengan ajar...