02 - Semangkuk Mint Choco

38 28 65
                                    

***

   Derai varsha mengalir, membasahi malam yang sunya. Angin berhembus, desirnya menghasilkan udara dingin yang menyeruak menusuk tubuh. Gemuruh petir menggelegar ke sepenjuru kota.

   Derap langkah kaki terdengar memasuki perkarangan rumah. Sesosok pemuda berpayung hitam berlari menuju rumahnya. Dia melepas sepatunya, lalu membuka pintu rumah yang tak terkunci.

    Merasa ganjal, itulah yang dia rasakan. Ia lekas meletakkan payungnya di luar rumah, kemudian memasuki kediamannya yang gelap gulita.

“Tumben sekali gelap. Apa listrik mati, ya?” gumamnya penuh kebingungan. Dia mencoba menyalakan lampu rumahnya, agar bisa melihat situasi di sekelilingnya.

    Matanya terbelalak lebar. Tubuhnya memaku di tempat kala menjumpai pemandangan tak mengenakan di hadapannya. Ia lantas berlari mendatangi keluarganya yang terkapar bersimbah darah.

EommaAppaNoona!” rintihnya. Ia mengguncang satu per satu tubuh anggota keluarganya, namun, tak ada satupun dari mereka yang merespon.

      Dia bersimpuh, tubuhnya serasa lemas hingga tak bisa melakukan lebih banyak pergerakan lagi. Bibirnya bergetar menahan sesak. Matanya memburam, karena air mata yang tak terbendung.

     Ia memeluk mayat ibunya sembari menangis tersedu-sedu. Meskipun dirinya seorang pria, bukan berarti dia tak boleh menangis jika mendapati keadaan seperti ini, ‘kan?

Eom….”

      Televisi yang tengah menyiarkan drama, Lucian matikan. Padahal, puncak konfliknya tengah berlangsung. Tetapi, criminal profiler yang seringkali dijuluki tua bangka itu, malah mengacaukannya.

“Lagi seru-serunya loh! Ngapain dimatiin?!” gerutu Liane tak terima.

“Si tua bangka satu ini cari gara-gara mulu! Daripada gangguin kita, mending urusin pemakaman buat lo deh,” umpat Aksa yang sudah lelah menghadapi Lucian.

   Lucian geleng-geleng kepala mendapati tingkah kedua rekannya yang masih saja kekanakan. Padahal, mereka sudah dewasa bahkan bekerja di tempat-tempat yang sulit. Tetapi, sekarang malah sibuk mengurus kdrama daripada menjalankan tugasnya.

   Di kala Lucian harus berhadapan dengan kedua rekannya yang gila akan drama korea, Koku justru asyik menertawakannya sembari menyantap ice mint choco kesukaannya.

“Hahaha ... Itulah alasanku kalau nonton lebih sering di hp daripada di tv. Apalagi kalau sudah sama mint choco kesayangan, dunia rasa milik berdu….” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Lucian lebih dulu menimpuk wajahnya dengan sandal belang yang ia gunakan.

“Ah! Gila semua di sini!”

***

  Sejumlah berkas tersusun rapi di atas meja. Laptop yang sedari tadi ditaruh di atas meja dibiarkan menyala. Kini, Koku sibuk membaca satu demi satu kasus yang bertumpuk di meja kerjanya.

“Orang zaman sekarang gila, ya? Permasalahan sepele saja bisa jadi masalah besar dan berakhir pembunuhan. Cuma perihal garpu mie instan yang bengkok, masa berakhir pembunuhan sih?” gumamnya tak habis pikir.

    Meskipun Ankoku mengomentari setiap kasus yang diperolehnya, bukan berarti dia akan mengabaikannya begitu saja. Dia tetap menanganinya, di saat rekan-rekan kerjanya memilih menutup mata dan menerima suap dari para pelaku.

Player of Law Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang