#18 Sorry

72 13 5
                                    

Rakel

It's so hard to pretend to be friends with someone special when you look at the person, all you see is everything you want to have.

-Pinterest



Kalau dipikir-pikir, keren juga ya gue. Bisa menahan perasaan buat memiliki Rere selama beberapa bulan belakangan. Mungkin rasa pengin memiliki itu nggak sebesar rasa takut gue kehilangan dia kalau gue confess kali ya? Nggak tau juga deh. Buat gue, rasanya ada di samping dia kapan pun dia butuh gue, atau kapan pun gue mau temui dia, itu jauh lebih dari cukup ketimbang status in relationship tapi nantinya malah kita nggak bisa saling menjaga dan berakhir pisah.

Sumpah, ngebayanginnya aja gue nggak sanggup. Harus diem-dieman sama Rere, atau mungkin marah-marahan, atau lebih parahnya bahkan kita bisa saling pura-pura nggak kenal? Harus melupakan kenangan yang udah banyak kita tabung selama kita kenal, dan menghapus cerita-cerita di setiap tempat yang pernah kita kunjungi.

Nggak deh, makasih.

Meski akhirnya gue harus lihat Rere digandeng cowok lain, atau melihat dia ketawa sama cowok lain, atau mungkin lebih parahnya, gue melihat dia bersanding di pelaminan dengan cowok lain, kayaknya itu masih lebih baik ketimbang gue harus pura-pura nggak kenal sama dia pas ketemu atau bahkan nggak bisa lihat dia sama sekali.

Tapi, malam ini gue tiba-tiba tegang saat segelintir kalimat meluncur dari mulut cewek mungil itu.

"Kalau cowok itu lo, gimana?"


Layaknya sinetron di televisi, sebaris kalimat itu terus menggaung di telinga gue beberapa kali sampai kesadaran gue kembali saat Rere memukul keras lengan bagian atas gue.

"Rakel!" serunya kencang.

"Hah? Apaan?"

"Kok lo ngelamun sih? Gue jadi agak horror loh ini, almost midnight by the way." Pandangan Rere berpendar memandangi suasana di sekeliling kami yang hanya menyisakan beberapa motor dan mobil.

"Lo ngomong apaan tadi?" gue mencoba memastikan pendengaran gue, kali aja gue butuh periksa ke THT karena ada kerusakan or something di telinga gue kan.

"Yang mana? Yang otak lo kebentur tembok seharian ini?"

"Bukan, Setelah itu."

"Setelah itu kan elo yang ngomong." Cewek itu terkekeh di akhir kalimatnya. Rasanya mau gue cubit aja kedua pipinya itu saking gemasnya.

"Re, serius ah."

"Ya gue juga serius, Kel."

"Itu, yang lo tanya, gimana kalau cowok itu gue." Gue akhirnya menegaskan dengan memandanginya sedikit lebih serius.

Bukannya menjawab, Rere hanya tersenyum tipis dengan masih menatap gue sedikit serius juga. "Itu lo tau. Kenapa harus tanya ulang kalau ternyata lo dengar?"

"Gue cuma mau memastikan kalau pendengaran gue masih baik-baik aja sih. Terus, maksud lo ngomong gitu, apa?"

Raut makanya terlihat ragu. Mata yang tadinya mengarah ke gue, tiba-tiba dia alihkan ke titik yang lain. Ke mana pun selain mata gue. Tapi beberapa detik berikutnya, dia kembali menatap gue dan menjawab, "Enggak kok becanda aja."

Meski gue bukan dukun, tapi dari sorot matanya gue paham banget ada yang dia sembunyikan. Rasanya pengin gue tahan dia bahkan mungkin sedikit memaksa untuk jujur. Tapi, lagi-lagi gue takut terlalu menekannya dan berakhir dia nggak percaya lagi sama gue.

Renata & Rakel [OSH]Where stories live. Discover now