#1 Starbucks Story

735 107 11
                                    

I choose to let you go because I know I will hurt myself if I choose to hold on.

.

.

.

Rakel


Diliat dari segi mana pun, gue dan Renata nggak ada kesamaan yang membuat kita nyambung satu sama lain. Semua hal yang kita sukai mau pun yang kita punya itu berkebalikan. Tapi, katanya hidup memang selucu itu. Hidup memang sepenuh kejutan itu. Makanya, waktu pertama kali gue nemuin dia lagi duduk di sudut Starbucks Dipati Ukur, sendirian, dengan segelas vanilla latte yang gue yakini ekstra susu, ditambah sepiring Red Velvet cake di mejanya, juga buku bercover pastel dengan sentuhan gambar macaroon biru, gue langsung tertarik untuk memperhatikan cewek itu lebih lama.

Selesai membawa segelas espresso ukuran grande dan sepiring cookies, gue memilih untuk duduk di depannya yang kebetulan kosong. Dan lagi, sejujurnya semua kursi di sini udah penuh gitu bikin gue nggak punya pilihan selain pulang atau duduk sembarangan di sofa. Dan, gue memilih pilihan kedua.


"Misi, boleh ikut duduk?" kata gue ramah, sambil menenteng 1 kresek hasil titipan Mamih berisi bolen dan brownies bakar.

"Duduk aja." jawabnya setelah melihat sekilas, lalu kembali fokus pada bacaannya. Udah dapet izin, gue memilih duduk di kursi tepat di depan dia tanpa banyak bicara. Dan nggak kerasa, 10 menit berlalu gue sama dia masih diem-dieman. Selanjutnya hal yang dia lakukan adalah menyimpan bukunya sejenak, mengambil potongan kue, dan akhirnya menoleh ke gue.

"Kenapa?" tanya dia tiba-tiba waktu nangkap gue lagi ngeliat ke arah dia.

"Ah, enggak. Sorry gue lancang."

"Lo anak Unpad?"

Gue buru-buru ngeliat stiker kecil yang ditempel Ceye atau mungkin Juna di ponsel gue. Sialan. Malu kan.

"Oh, ini, hehe, iya." Gue cengengesan nggak jelas sementara cewek di depan gue cuma menatap dengan tatapan bingung.

"Jurusan apa?"

Gue mengo bentar, sambil mikir apa harus gue jawab atau enggak. Secara, buat anak-anak Unpad, kenalan di luar sama cewek-cewek itu sedikit gengsi. Apalagi kalau ternyata si cewek anak ITB. Duh, rasanya pamor kita turun drastis. Gue nggak tau sih ini berlaku juga buat anak-anak Unpad di Jatinangor atau cuma dirasain sama cowok-cowok di Unpad DU aja.


"Akuntansi, lo anak Unpad juga?"

Cewek itu ngangguk. "Anak Ekonomi Pembangunan."

"Seriously? Kok gue nggak pernah liat lo sih?" nggak tau kenapa, begitu gue tau kalau cewek ini anak Unpad juga, rasanya lega aja gitu. Maksudnya ya seenggaknya gue gak minder karena dia anak ITB hehe.

Dia ketawa pelan dan sebentar, seolah-olah dia maksain ketawa. Tapi, gue nggak ngerasa begitu sih. Gue ngerasa dia beneran ketawa karena pertanyaan gue yang konyol. Apa mungkin cuma perasaan gue?

"Yakali anak Unpad cuma gue doang." Katanya lagi. "Renata, Ekonomi Pembangunan angkatan 2016." Dia langsung nyodorin tangannya dan nggak gue sia-siain buat membalas.

"Rakel, Akuntansi 2015."

"Wah, kating toh." Dia manggut-manggut. "Lulus tahun ini?"

"Doain aja." Ucapan gue menjadi akhir dari pembicaraan kita karena selanjutnya kita cuma diem-dieman lagi. Sial, kenapa gue mendadak jadi kaku gini sih buat ngobrol sama cewek? Padahal, biasanya gue selalu lebih jago dibanding Ceye dan Juna buat kenalan sama cewek. Kenalan doang tapi, berlanjut kagak.

"Kok mau masuk Akuntansi? Jarang banget loh cowok yang mau masuk jurusan Akuntansi. Biasanya Teknik, kedokteran, atau seni."

"Biar beda aja. Mungkin juga takdir biar bisa ngobrol sama lo."

Renata & Rakel [OSH]Where stories live. Discover now