4

126 14 0
                                    

Sisa udara pagi yang dingin dan lembab masih membayang di udara. Namjoon berjalan tergopoh dengan langkah lebar-lebar. Di sepanjang jalan para pemilik toko dan restoran bersiap membuka bisnisnya. Termasuk tempat tujuan Namjoon.

Seokjin tampak berjongkok di pinggir jalan, sambil mengetuk-ngetukkan ember ke jalanan. Sisa air kotor bekas mengepel menggenang di sekitar converse nya.

"Sini kau!" Namjoon membetot hoodie Seokjin, memaksanya berdiri. Tidak sempat ia bertanya apapun, tubuhnya sudah dibanting menghantam tembok. Ia mengerang kencang sambil memegangi bahunya yang nyari. Tapi senyum sinis tersungging saat ia melihat orang yang melakukan kekerasan padanya.

Semua orang yang lewat melirik atau menengok. Tapi tidak ada yang melambatkan langkah apalagi berhenti untuk melerai. Perselisihan dan pertengkaran adalah hal biasa di bagian kota ini, semua orang tahu pilihan terbaik adalah tidak mempedulikannya.

Kepalan Namjoon terangkat tinggi, jelas mengarah ke wajah Seokjin yang anehnya terlihat begitu tenang. "Kembalikan kalung dan jam tanganku."

"Aah, aku tahu kau tipe yang rela cari keributan."

"Terserah. Pokoknya kembalikan. Barang-barang itu penting buatku." Namjoon menyeringai. Semakin kesal karena Seokjin tampak meremehkannya.

Seokjin mencibir. "Tidak. Aku tidak mau mengembalikannya."

"Kubunuh kau."

Seokjin malah tertawa kencang seakan Namjoon mengucapkan sesuatu yang sangat lucu. Emosi menggelega dalam tubuh Namjoon mendengar tawa bernada tinggi itu. Perasaan yang melonjak seperti semalam, hanya saja kali ini luapannya membuatnya mengayunkan kepalannya ke perut Seokjin.

Seokjin langsung terbungkuk meringkuk sambil mengerang panjang memegangi perutnya. Ia terbatuk-batuk, tapi tidak melarikan diri.

"Kau mau mati, hah?" Namjoon mencengkeram kerah hoodie Seokjin, membentak sambil memamerkan kepalannya. "Kubunuh kau! Aku serius!"

Seokjin tersengal. "Silakan."

"Hah? Apa maksudmu?"

Seokjin mendongak menawarkan lehernya, balas menantang Namjoon. "Silakan kalau mau membunuhku."

Kepalan Namjoon gemetar. Dibantingnya lagi Seokjin menghantam dinding. Ada apa dengan Seokjin ini? Ia terus membuat Namjoon bingung.

Seokjin memasukkan kedua tangannya ke saku. Ia berdiri tegap dalam jarak aman, menatap dingin Namjoon yang berdiri membeku. "Ayo."

"Kemana?"

"Katanya kau mau membunuhku."

Namjoon tidak tahu harus menjawab apa. Ini bukan apa yang ia perkirakan akan terjadi. Sungguh ia berpikir kalau Seokjin akan gemetar ketakutan di kakinya, meminta ampun, lalu mengembalikan barang-barangnya.

Seokjin tersenyum. "Ayo cari tempat dimana orang tidak akan menemukan mayatku. Kau tidak mau masuk penjara lagi kan?"

Namjoon meludah. Mencoba tetap tampil berkuasa walaupun ia tahu ia sudah kalah. "Kau gila."

Seokjin terkekeh. Ia mengeluarkan sekotak rokok dari sakunya lalu menyulutnya. "Gila? Aku? Aku rasional."

"Rasional apaan? Mana ada orang rasional minta dibunuh?"

Seokjin mendekati Namjoon, tanpa bertanya ia menyelipkan rokok di bibir Namjoon lalu menyalakan pemantik. Lagi-lagi bagaikan dihipnotis Namjoon menurut. Membungkuk menyalakan rokoknya di pemantik Seokjin.

Untuk beberapa lama hanya keheningan diantara mereka. Asap mengepul dari bibir keduanya, dan orang-orang kini melewati mereka dengan acuh.

Seokjin melirik saat dua orang wanita masuk ke dalam cafe tempat kerjanya. Namjoon langsung mendapat kesempatan. "Kau harus kerja, kan?"

TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang