15

52 9 2
                                    

Namjoon langsung terbangun saat mendengar suara berkelotak dari kamar tidur. Ia mengerang saat mencoba berdiri, sekujur tubuhnya terasa kaku.

Lagi-lagi ia tertidur di meja makan, berbantalkan buku tebal yang dibacanya tanpa ada kata yang benar-benar bisa dicernanya.

Sungguh ia ingin bisa berada di sebelah Seokjin, yang terbujur kaku di satu-satunya kamar tidur di apartemen sempit yang mereka sudah tinggalkan dua tahun lalu.

Tapi pertengkaran diantara mereka belum benar-benar selesai, dan Namjoon juga bisa merasakan kalau Seokjin menjaga jarak darinya walaupun begitu tersirat.

"Haus?" Namjoon meraih botol air dari sebelah tempat tidur lalu duduk di sebelah Seokjin yang menjulurkan tangan dengan lemah.

"Mmh..." Seokjin langsung menyesap air bening di dalamnya perlahan-lahan. Hanya tiga teguk, ia membuang muka lalu menutupi wajahnya dengan tangannya.

"Ugh... Sakit..." Ia berbisik samar. Tangan satunya gemetar saat mengencangkan pegangannya di pigura foto kedua orang tuanya.

Namjoon diam saja, merasakan tenggorokannya tercekat dan matanya panas. Makin hari kondisi Seokjin makin memburuk.

Malam itu ditengah pertengkaran mereka, lagi-lagi Seokjin yang menyelamatkan nyawa Namjoon dengan membelokkan setir tepat sebelum mobil mereka bertabrakan dengan mobil lain di arah berlawanan.

Malam itu segalanya adalah keberuntungan bagi mereka. Airbag menyelamatkan kepala mereka, tabrakan dengan pohon menghalangi mereka dari terguling, dan wanita tua yang nyaris membunuh mereka justru menjadi penolong yangmengantarkan mereka kembali ke tengah kota.

Mereka tidak bicara apapun selama sisa hari, dan perkataan pertama Seokjin adalah keluhan rasa nyeri di kakinya.

Walaupun jelas ia mulai kepayahan menahan sakit, Seokjin menolak pergi ke dokter. Berpikir itu hanyalah akibat benturan, atau patah garis rambut yang akan sembuh sendiri asal tidak banyak digerakkan.

Tapi dengan cepat ruam kemerahan kecil itu meluas, menjadi bengkak dan memar keunguan yang membuat setiap gerakan sekecil apapun menjadi sumber ratapan kesakitan.

Dalam kepanikan Namjoon justru membawa Seokjin kembali ke kota asal mereka. Kota ini, adalah satu-satunya tempat dimana mereka tidak pernah melakukan penipuan dan perampokan.

Tapi rencana Namjoon untuk segera membawa Seokjin berobat, terhalang penolakan Seokjin yang ketakutan dengan skala pencarian polisi atas mereka.

Namjoon meletakkan tangannya di dahi Seokjin dengan hati-hati. Seokjin masih demam tinggi, dan keringat dingin mengalir deras membasahi rambut, pakaian dan tempat tidurnya.

Berat badan Seokjin turun drastis hanya dalam beberapa hari, membuat tulang pipi dan bahunya bertonjolan. Rona keabuan yang menyeramkan mulai membayang di kulit pucatnya. Matanya bengkak karena ia tidak bisa tidur nyenyak dan kantung matanya menghitam.

Namjoon menyentuh bibir yang pecah-pecah hingga berdarah.  Matanya terasa basah saat Seokjin justru tersenyum kecil.

"Maaf, aku jelek kalau sakit." Ada nada bercanda dalam kata-kata Seokjin.

"Kau ngomong apa sih?" Namjoon menjawab pelan, berusaha menutupi suaranya yang gemetar.

"Kalau kau tahu aku sejelek ini, kau pasti tidak mau sama aku kan?"

Namjoon tidak memberi jawaban karena ia sungguh tidak tahu jawaban apa yang diharapkan didengar Seokjin.

"Makanya, selama sama kau, aku selalu berusaha sehat terus." Seokjin tertawa kecil.

Namjoon tertunduk. Seokjin dan selera humornya. Dulu, ia sering marah karena Seokjin suka bercanda di saat yang menurutnya tidak cocok.

Tapi sekarang ia sungguh-sungguh berharap bahwa ini adalah satu tanda kalau Seokjin tidak apa-apa. Seokjin akan kembali sehat.

TomorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang