04

315 44 15
                                    


.

.

.



Suara anak-anak yang sedang belajar di dalam kelas terdengar samar-samar hingga kafetaria sekolah.

Disana, dua orang yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu, kembali duduk berhadapan dengan secangkir kopi masing-masing di depan mereka.

Gugup, satu kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaan Kim Junkyu saat ini. Tidak pernah terbesit di dalam pikirannya bahwa ada kemungkinan untuk bertemu lagi dengan Mashiho, terlebih lagi di sekolah putri-nya yang baru.

Bukankah seharusnya saat ini Mashiho tinggal di Jepang?

"Sepuluh tahun..."

Junkyu mengangkat wajahnya, menatap sosok yang baru saja mengeluarkan suara.

"Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi denganmu setelah sepuluh tahun, Kyu. Kamu tahu? sepuluh tahun terakhir banyak sekali hal-hal berat, terlebih lagi Haruto..." ucap Mashiho.

Nada bicara Mashiho membuat Junkyu tersadar akan hal-hal yang sudah ia lewatkan. Junkyu tahu apa saja yang sudah terjadi tapi dirinya memilih untuk tetap menghilang dari kehidupan orang-orang di masa lalunya.

"Kak Mashiho, aku turut berduka cita untuk kepergian Junhee. Maaf juga karena aku tidak bisa datang karena–"

"Bukankah seharusnya kamu bicara seperti itu pada Haruto?" sela Mashiho.

Seketika Junkyu terdiam.

Apa yang dikatakan Mashiho memang benar. Tapi di dalam lubuk hati Junkyu yang terdalam, ada perasaan takut untuk bertemu lagi dengan Haruto.

Ketakutan yang terus menghantui hidupnya bahkan sampai detik ini.

"Aku tahu pasti ada hal sulit yang kamu alami sampai kamu terpaksa pergi. Tapi tidak apa-apa Junkyu. Semuanya sudah terjadi, kamu tidak perlu merasa bersalah," ungkap Mashiho, diakhiri dengan senyum tipis.

Junkyu yang mendengar perkataan Mashiho pun menggeleng pelan. Kemudian ia mendongak, mencoba menghalau cairan bening yang entah sejak kapan berkumpul di pelupuk matanya.

"Hei, aku bilang tidak apa-apa. Maaf kalau perkataanku membuatmu semakin sedih," ucap Mashiho seraya mengusap tangan Junkyu.

"Maaf kak... Aku hanya teringat dengan keputusanku dulu. Aku yang meyakinkan Haruto untuk mempertahankan bayi yang Junhee kandung. Aku yang mendorong Junhee untuk bertahan di tengah kondisinya yang tidak memungkinkan. Dan pada akhirnya... aku..."

Mashiho menggelengkan kepala. Segera ia pindahkan kursinya agar bisa duduk di samping Junkyu, lalu membawa sosok yang sudah ia anggap adik itu ke dalam pelukannya.

"Aku takut bertemu Haruto... Aku yang membuat dia kehilangan Junhee, kak.. Maaf..." ucap Junkyu.

"Jangan menyalahkan dirimu sendiri. Junhee sudah memilih keputusan yang terbaik untuk dirinya. Dia sangat menyayangi Hiro sehingga dia sanggup memberikan seluruh hidupnya demi keselamatan Hiro," ujar Mashiho.

Pundak Junkyu ditepuk pelan-pelan oleh Mashiho, agar sosok yang lebih muda darinya itu dapat tenang. Karena Mashiho bisa merasakan seberapa sakitnya perasaan bersalah yang Junkyu pendam.

Bermenit-menit berlalu hingga akhirnya tangis Junkyu berhenti.

Kini dengan mata yang masih merah, Junkyu menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya.

ReWriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang