08

239 44 10
                                    



.

.

.


Hela nafas berat dari mulut Haruto mengudara, kemudian menjadi samar setelah sepersekian detik di udara. Kacamata bingkai persegi panjang yang bertengger di hidung bangirnya ia lepaskan untuk mengusap wajahnya dengan satu tangan.

Semua tugas serta kewajibannya hari ini di rumah sakit telah ia tuntaskan. Seharusnya ia sudah meninggalkan ruangan bernuansa putih ini sejak satu jam lalu, saat langit sore masih ada.

Namun sampai detik ini, ketika langit sore berganti menjadi malam, Haruto masih setia di ruangannya sambil merenungkan apa-apa saja yang telah terjadi.

Memori saat pertemuannya dengan Junkyu yang berakhir dengan membawa rasa kecewa masih sulit Haruto hapus. Seberapa banyak pekerjaan yang ia lakukan hari ini, ingatan itu akan selalu muncul ketika dirinya sendirian.

Bila ditanya bagaimana perasaannya sekarang? Haruto akan kebingungan. Otak pintarnya mendadak tak berguna hanya untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu.

Saat isi kepalanya sedang tidak baik-baik saja, ponsel Haruto berdering tanda adanya panggilan masuk.

Haruto pun melirik ke arah benda pipih itu, yang menampilkan nama Asahi sebagai nomor yang sedang menghubunginya.

Dengan perasaan malas, Haruto meraih ponselnya lalu kemudian menekan tombol hijau.

"Apa?" tanya Haruto langsung tanpa basa-basi.

"Kau sudah selesai bekerja?" tanya Asahi dari balik sambungan telepon.

"Sudah. Langsung katakan saja apa maumu," balas Haruto.

Jangan lupa kalau Haruto masih kecewa pada Asahi karena menyembunyikan fakta bahwa dia tahu dimana Junkyu selama tiga tahun terakhir.

"Datanglah ke restaurant milik Jaehyuk malam ini jam setengah delapan. Jeongwoo juga akan datang dan dia tidak sendirian," ungkap Asahi.

"Maksudmu Jeongwoo akan datang bersama Junkyu?" balas Haruto.

Hening terjadi setelah pertanyaan Haruto keluar dari mulut. Tampaknya lelaki Hamada di seberang sana terkejut karena Haruto dapat menebak dengan benar siapa yang dia maksud.

"Kau... Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau sudah bertemu dengan Junkyu?" tanya Asahi.

Haruto mendengus.

"Bukan urusanmu. Kalian nikmati saja reuni kalian. Kalian bisa melupakanku seperti tiga tahun terakhir. Aku lelah dan ingin cepat-cepat tidur," ucap Haruto.

"Haruto, bukan–"

Bipp

Panggilan terputus secara sepihak. Haruto yang memilih untuk mengakhiri panggilan tersebut pun menarik nafas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya.

Sebenarnya ada perasaan aneh seperti tak rela usai menolak ajakan Asahi.

Tapi mau bagaimana lagi? Bukankah Junkyu tidak ingin bertemu dengannya? Bukankah ia juga sudah melakukan kesalahan fatal hingga membuat Junkyu pergi walau Haruto sendiri tak tahu apa kesalahannya?

Haruto tak ingin membuat Junkyu lelah mencari cara untuk menghindarinya. Kini biar dirinya yang menghindari Junkyu walau Haruto tak tahu seberapa lama ia bisa bertahan.




ReWriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang