Empat

93 9 3
                                    

"Om, ini kita langsung ke apartemen?" tanya Rega begitu mobil yang menjemput mereka melewati jalan menuju rumahnya.

"Iya, kalau kamu mau ambil barang-barang dari rumah, nanti saya antar," jawab Bara. Tangannya menggenggam tab dan matanya fokus pada benda itu.

Iya, Bara sama halnya seperti pria-pria sibuk di dunia ini. Tak lepas dari gadget, tidak lepas dari telepon. Bahkan katanya lima hari kemarin itu bulan madu. Tapi gak berasa bulan madu, Rega malah merasa jadi orang tersesat di negeri orang. Luntang Lantung sendiri liat bule ciuman di pinggir jalan.

Bara hanya mengantar Rega sekali waktu dia ingin beli oleh-oleh buat teman-temannya. Itu pun Rega malah lebih akrab sama asisten Bara. Ini sebenarnya Rega nikah sama Bara apa nikah sama Jay sih? Malah Jay yang baik memperlakukan Rega seperti adiknya sendiri.

"Gak usahlah, Om. Nanti gue bawa sendiri aja, cuma baju doang, laptop sama ijazah."

"Gak usah bawa baju banyak-banyak, di apartemen sudah ada."

"Baju gue? Kok bisa?"

"Bisalah, kan beli. Sudah saya bilang kamu sudah jadi tanggung jawab saya, semua kebutuhan termasuk baju udah saya penuhi."

Rega malah tertawa, Bara melirik sekilas, tapi tidak berkomentar. Jadi apa alasan Rega tertawa? Ya karena si Om Bara ini ngasih segalanya bahkan pabrik buat Rega. Tapi Rega ngasih apa? Tubuhnya aja dia belum siap kasih, dosa gak ya gak ngasih jatah sama suami?

Mungkin Rega harus ketemu sama Kastara buat Konsul, karena kalau sama Biru udah pasti jadi resek, lawak jatuhnya kena ledekan.

"Om," panggil Rega.

"Hmmm."

"Nanti boleh ke rumah Kastara gak sih? Gue mau ngasih oleh-oleh buat dia sama Bunda. Kemarin kan mereka gak dateng."

"Diantar Jay, ya?"

"Om, masa mau main diantar," protes Rega.

"Saya takut kamu kenapa-kenapa."

Rega kembali tertawa. Kali ini lebih lepas sampai sopir pun ikut melirik dari spion tengah.

"Geli tau, Om. Gue cuma ke rumah Kastara. Gue cowok, hidup 23 tahun di Bandung. Gak akan nyasar, gak akan ada yang nyulik."

"Kalau gitu jangan langsung, emangnya gak capek?"

"Apa itu capek? Rega gak kenal capek."

"Istirahat minimal satu dua jam. Baru boleh."

Rega berdecak. Males banget nih Om Bara. Rega biasanya sebebas burung gereja kini malah seperti merpati. Bebas-bebas terkekang, bebas dikit tapi kudu balik.

Melihat suasana menjadi gelap, Rega sadar kalau mereka sudah sampai. Di basement apartemen tempat tinggal Bara ada banyak mobil. Rega celingukan melihat yang mana milik Bara yang nantinya akan dia pakai.

"Ingat-ingat nomornya, yang ini, ini sama yang depan itu. Jangan salah parkir. Kamu bebas pilih yang mana."

Rega mengangguk, setidaknya ada kendaraan yang bisa dia bawa untuk ke mana-mana.

Rega mengekori Bara, sementara di belakangnya ada sopir tadi yang kepayahan membawa dua koper. Rega tidak diijinkan membantu.

Rega sempat berpikir apartemen Bara ini mewah, nyatanya biasa aja. Begitu masuk disuguhkan dapur di sebelah kiri dan bar di sebelah kanan. Lalu ruangan tamu, ruang tv, dekat jendela ada space diisi dengan rak buku dan sudut untuk membaca dengan view kota Bandung.

Ada dua kamar, sayangnya kamar yang satu diisi dengan alat-alat olahraga seperti treadmill dan beberapa alat lainnya.

"Kita sekamar, Om?"

Chasing HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang