Sembilan 🔞

115 7 6
                                    

"Kamu kenapa, Ga?"

Bara merangsek masuk dan langsung memeluk Rega.

"Lepas Om, gue gapapa. Om ngapain keringetan gitu?" tanya Rega. Dia lap keringat Bara dengan punggung tangannya. Kini keduanya berhadapan jaraknya dekat, dan sekali lagi Bara peluk Rega.

"Kenapa Om?" tanya Rega.

"Kata Rizal kamu sakit. Aku dari Rancaekek ngebut trus tadi dari lobi lari-lari takut kamu kenapa-kenapa, sakit apa kamu Ga. Maaf, maaf soal kemarin, aku gak maksud bohongin kamu. Aku gak bisa maafin diri sendiri kalau kamu bener sakit gara-gara aku."

Aku? Ya, aku. Bara bertekad mengikis jarak yang terbentang luas antara dia dan suaminya mulai dari mengubah panggilan diri sendiri dari saya ke aku. Rega hanya terkekeh geli menanggapi suaminya. Wajahnya menempel di dada bidang sang suami, dia bisa menghirup aroma parfum yang akhir-akhir ini menjadi candu.

"Jujur iya, dari kemarin gue sakit hati gara-gara om bohong. Tadi juga pas mau ngantor baca notes Om langsung aja gue putar haluan, enggak mau masuk kantor karena malas bertemu. Kesel banget tau, Om. Apalagi pas mantan kamu bilang mau balikan. Bodo amat dibilang cemburu karena emang kamu udah jadi milik gue sekarang, dan gue gak bisa berbagi. Apa pun itu gue gak bisa berbagi sama orang lain apalagi orang asing."

Rega diam sebentar, dia dengarkan degup jantung Bara yang kencang. Diam-diam dia ingin tahu arti dari detak jantung yang kencang ini. Takut kah? Grogi kah? Atau apa? Kenapa sekencang itu?

"Terus tadi gue ke rumah Biru. Kita diskusi, trus sharing. Emang kalau lagi ada masalah tuh kan harus ya sharing sama orang biar kita gak ambil keputusan salah atau seenaknya. Dari obrolan kamu, gue bisa terima apa pun alasan Om. Iya om, gak perlu jelasin kalau gak mau jelasin. Yang penting gue udah tanamkan dalam diri bahwa Om pasti punya alasan yang tepat soal kemarin. Anggap aja gue ngasih kesempatan kedua buat Om."

"Astaga Rega, kamu dewasa banget. Kamu dengar baik-baik, kemarin aku memang makan sama karyawan, sama dia juga. Ternyata dia adalah staff HRD yang ngurus bagian ini di perusahaan itu. Dia lebih banyak berhubungan dengan staff aku sebenarnya. Tapi karena tahu perusahaan ini milik aku akhirnya dia hubungi secara pribadi, minta tolong agar semuanya lebih mudah. Kemarin gak hanya berduaan kok, sama karyawan lain. Ada fotonya kalau mau lihat."

Rega menggeleng, lalu dia melesakkan tubuhnya lebih erat di pelukan sang suami.

"Iya kan, pasti ada alasannya. Gak apa-apa Om gue ngerti. Gue percaya om gak akan balikan sama dia. Kalau masalah pekerjaan gue bisa dukung om buat profesional. Kecuali jika Om sama dia di luar konteks kerja, mungkin saya akan pertanyakan. Apalagi kalau misal udah jauh dari batasan, gue mungkin bakalan marah."

"Maaf ya, maafkan aku." Bara mengecup puncak kepala Rega berkali-kali.

"Gue masak, belum makan siang pasti, ya?"

Bara mengangguk, melepas pelukannya lalu melihat ke dapur. Di mangkuk ada bihun, kol iris, ayam suwir, ada keripik kentang, telur rebus dan bahan-bahan lain. Di panci ada kuah kuning yang harum dan mendidih.

"Soto?"

"Iya. Andalan banget, Om. Pertama kali belajar masak gara-gara soto langganan yang dekat kantor Pertamina itu gak jualan lagi. Nyari pedagang soto lain rasanya tidak sama. Dan funfactnya, ART di rumah mama tuh sebenernya jago masak, cuma ya dia masak masakan yang diriques mama setiap hari. Gak pernah masak soto, pas gue tanya ternyata bisa. Rasanya lebih enak."

"Trus alasan belajar masak soto apa, kan udah ada yang masakin?" tanya Bara penasaran.

Rega menyajikan soto dalam mangkuk. Menatanya dengan baik lalu disiram dengan kuah harum yang masih berasap.

Chasing HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang