Enam

71 11 0
                                    

Jika bukan karena hal urgent, Bara sama sekali tidak mau meninggalkan Rega sendirian di apartment. Apalagi keadaannya baru saja terjadi sesuatu. Bara tidak habis pikir dengan ide gila Rega. Bisa-bisanya suami muda-nya punya pikiran untuk menyerahkan tubuh sebagai ganti hati yang tidak bisa dia berikan.

Bara hendak bicara dengan Rega, meluruskan semua yang terjadi saat ada telepon dari kantor pusat. Ada salah satu pegawai cleaning service yang terjatuh dari gondola. Bara harus mengurus semuanya, memeriksa keamanan gondola sampai mengurus proses pengembalian jenazah ke pihak keluarga. Belum lagi urusan dengan gedung terkait dan juga petugas kepolisian.

Semua urusan itu dia kerjakan sampai malam, sampai lupa dengan Rega. Saat keluar dari kantor polisi, Bara bergegas menuju rumah duka, memberikan ucapan bela sungkawa sebagai perwakilan perusahaan jasa cleaning service tempat sang korban bernaung.

Semua selesai dengan baik, kejadian ini murni kecelakaan yang disebabkan kelalaian korban. Perusahaan sudah menetapkan standard keamanan tali gondola dan apd yang harus diikuti oleh setiap petugas. Sayang karena lalai, salah satu tali pengikat tubuh korban tidak terkunci dengan baik sehingga menyebabkan dia terjatuh dari gondola dan bergelantungan di antara lantai 5 dan 6 gedung.

Korban dinyatakan meninggal dunia karena serangan jantung. Ya gimana tidak, bergelantungan dengan pengikat di salah satu sisi tubuhnya.

Rasa bersalah membuat Bara bergegas pulang saat jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin Rega sudah tidur, Bara tidak mau membuat suaminya menunggu.

Tiba di basement, Honda Jazz merah sudah parkir di tempat semula, itu artinya Rega sudah pulang. Di lorong-lorong menuju kediamannya Bara berjalan dengan langkah ringan. Sampai langkah Bara terhenti kala melihat Rega tergeletak di depan pintu apartemennya.

"Astaga! Ga, kamu ngapain?"

"Om!" pekik Rega, dia menghambur ke pelukan Bara. "Maafin yang tadi ya, Om jangan marah."

Bara mengendurkan pelukan, bisa-bisanya Rega bersila di depan pintu apartemennya. Ada minuman soda kaleng dan juga burger dari salah satu restoran cepat saji yang ada di lobi apartemen.

"Kamu kenapa gak nunggu di dalam, sih, Ga. Ngapain di sini?"

"Lupa sandi kuncinya, Om. Tadi mau nelepon juga ponsel gue mati sejak siang."

"Kenapa gak minta tolong ke bawah aja, ke resepsionis?"

"Gak kepikiran, yang ada di otak gue om yang marah dan pergi gak pulang-pulang."

Bara memeluk Rega gemas. Lelaki kecil di dekapannya balas memeluk.

"Saya gak marah, coba ini ingat-ingat kombinasi angkanya. 17845, hari kemerdekaan."

Rega mengernyit, gak ada kombinasi angka lain? Kenapa harus hari kemerdekaan?

"Wajahnya jangan kaya orang meledek gitu deh. Pungut sampahnya lalu buang, ayo masuk."

"Kenapa gak kreatif masukin kombinasi angkanya?"

Rega jalan duluan, lalu merebahkan diri di sofa.

"Karena sandi yang sebelumnya udah ada yang tahu. Udah makan? Berapa lama nunggu di situ?"

"Dari Magrib, Om."

"Astaga Rega!" Bara kembali mendekat meraih tangan Rega sampai dia bangkit dan duduk, Bara tidak segan memeluk kembali suaminya.

"Maaf, tadi ada masalah di kantor. Gak sempat kabari kamu juga karena beneran hectic banget. Maaf udah bikin kamu nunggu. Mau makan? Biar saya masakin."

Rega menghidu aroma parfum suaminya, tidak begitu menyengat tetapi cukup kuat dan bikin betah. Bau lelaki, beda dengan dirinya yang lebih sering menggunakan parfum biasa-biasa saja. Rega sering beli diskonan di salah satu minimarket dekat rumah.

Chasing HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang