"I can't give you my heart, instead I will give you my badbody."
"No!" tolak Bara. Namun, Rega begitu brutal mengangkangi Bara, melesakkan ciuman demi ciuman di bibir Bara yang merah.
Bara sempat terpancing, tetapi kesadarannya masih lebih dari 70%. Dia buru-buru meraih tangan Rega yang menggerayangi tubuh Bara. Membalik lelaki yang jauh lebih kecil darinya sampai dia terpelanting dan terlentang di sofa.
"Hentikan Rega."
"Om nolak gue?" tanya Rega. Nada bicaranya menyiratkan luka.
"Tidak begini caranya, saya memberikan apa yang saya punya tulus. Tanpa minta imbalan apa pun, hatimu bahkan tubuhmu. Hatimu tetap milikmu, pun dengan tubuhmu."
Rega menatap Bara dengan mata sayu, dia menelan ludahnya. Salah, ya, apa yang dia lakukan barusan? Harusnya Bara senang, dia pria gay, punya berahi, dan Rega suaminya. Tunggu apa lagi?
Bara tidak habis pikir dengan keputusan Rega. Kalaupun harus bercinta, tidak dengan cara ini. Ini salah, tidak boleh.
"Om, gak salah, kan? Gue suami Lo. Lo berhak atas tubuh gue dari ujung rambut ke ujung kaki. Silakan Om, pertanyaan gue yang bilang belum siap ngeseks kemarin lupakan aja. Sekarang gue siap lahir batin, Om."
Bara mengendurkan pegangan pada tangan Bara, dia tarik tubuh suaminya sampai duduk berhadapan. Bara memang melihat tekad dari mata Rega, sayangnya dia tidak melihat ketulusan di sana.
"Ga, saya memberikan banyak hal buat kamu bukan berarti saya minta imbalan. Apalagi kamu ngasih dengan cara merendahkan diri seperti barusan. Saya tak ubahnya pria brengsek yang membeli dan menukar tubuh kamu dengan banyak uang. Gak begitu."
Bara merengkuh Rega dan mendaratkan kecupan di kepalanya. Rega diam tidak mengerti, padahal tadi dia merasakan sendiri ada sesuatu yang keras menonjol di antara paha suaminya.
Tubuh suaminya tidak bohong, lantas mengapa menolak?
"Tapi kan kita udah nikah, udah gak apa-apa buat begituan, Om."
"Kamu sendiri yang bilang gak siap dan gak akan pernah siap, Ga. Kamu sendiri yang bilang gak akan ada seks di pernikahan kita. Kenapa cepat sekali berubah pikiran?"
"Om, gak adil banget kalau gue gak bisa ngasih apa-apa di pernikahan ini. Jika hati gak bisa maka Om bisa dapetin tubuh gue Om. Pakai aja sesuka, Om. Gue siap."
"No, saya mau making love, bukan having sex. Mau melakukan itu dengan kerelaan, suka sama suka. Bahagia dan tidak ada keterpaksaan."
"Tapi gue gak kepaksa, Om."
"Tidak terpaksa, tapi kamu ngasih sebagai ganti hatimu. Dan saya gak bisa ngambil itu. Udah kamu mandi, jangan punya pikiran aneh-aneh, jangan pernah merasa punya hutang Budi segala macam. Saya melakukan semuanya karena tanggung jawab sebagai suami."
Wajah Rega merah, kepalang malu atau marah mungkin. Dia mundur dan berlalu ke kamar untuk mandi. Tadi dia merasa bahagia, tapi kenapa tiba-tiba merasa sedih?
Rega tiba-tiba dapatkan semua kemewahan dari Bara. Lantas Bara dapat apa? Apalagi tadi Bara bilang kalau dia sudah suka sama Rega. Apakah tubuh Rega begitu buruk sampai Bara menolaknya? Apa Rega tidak tidak tampan seperti Biru atau mantan-mantannya Bara?
Rega menatap pantulan tubuhnya di cermin. Dadanya rata, tidak ada tonjolan. Tidak ada roti sobek yang biasa dipamerkan para lelaki yang rajin olahraga. Perut Rega rata, putih mulus seperti susu.
Lalu dia melihat ke bawah, alat tempurnya memang tidak begitu besar. Tapi tidak malu-maluin, kalau bangun Little Rega juga bisa eksis dengan bentuk sempurna kemerahan. Lantas apa yang salah?
Aliran air shower membasahi seluruh tubuhnya, diam-diam air mata pun ikut luruh gak mau kalah eksis sama air PAM yang ngalir melalui lubang shower.
Selesai mandi dan berpakaian, Rega tidak mendapati Bara di mana pun. Dia malah melihat dua kartu kredit dan debit yang sempat dia kembalikan tadi. Ada kunci mobil dan juga notes yang mengatakan kalau Bara pergi karena ada urusan.
Kan jadi kacau.
Rega keluar dari apartemen, membawa beberapa oleh-oleh yang akan dia berikan pada Kastara dan Bunda.
Honda Jazz merah melaju di jalanan kota Bandung. Aroma di dalamnya didominasi parfum Bara yang tertinggal. Rega tiba-tiba merasa sedih, seumur hidupnya tidak pernah ditolak siapa pun, tapi tiba-tiba hari ini dia ditolak suami sendiri. Malu? Jelas, marah? Tentu saja.
Rega jadi meragukan apa benar Bara suka kepadanya? Apa benar dia ikhlas dan menerima takdir untuk menjadi suaminya? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. Rega sampai tidak fokus menyetir, dia menepi dan berusaha menghubungi Bara. Sayang, tidak ada jawaban sama sekali.
Ah ... Ngambekan!
Bunda sudah menyambut kedatangan Rega di rumah. Dia berkali-kali minta maaf karena tidak dapat memenuhi undangan untuk menyaksikan prosesi pernikahannya. Ya Rega mengerti, Bunda sibuk, ada setumpuk pekerjaan dan berkejaran dengan deadline.
"Gimana suami kamu, Ga. Baik, kan?" tanya Bunda.
"Baik, Bund." Tapi dia nolak aku tadi.
"Bunda baru liat di hp Biru, pas kalian nikah. Ganteng juga ya, matang gitu. Pasti mengayomi, pasti bisa bimbing kamu."
"Mudah-mudahan Rega bisa tahan di pernikahan ini, Bund. Walau bagaimanapun dia tetap orang asing yang ditakdirkan buat jadi pendamping Rega."
Bunda Selen senyum, "kamu pasti bisa. Komunikasi adalah salah satu kunci agar rumah tangga harmonis, baik buruknya keadaan yang dihadapi pasti akan melewati jalan tengah yang melegakan apabila komunikasi kalian baik."
"Iya, Bund. Kudu banyak belajar sama Bunda ini mah."
"Nanti juga biasa. Kamu mau minum apa, Ga?" tanya Bunda.
"Gak usah, Bund. Rega gak lama, ini mau terus ke rumah Biru. Nitip ini buat kak Genta, Kas sama Sena."
Bunda Selen berdiri, seakan tahu kegelisahan Rega perempuan itu memberikan pelukan buat Rega.
"Jangan sampai Bunda kehilangan Rega yang ceria seperti dulu ya. Senyum, ikhlas, let it flow. Pikirkan kebaikannya apa, orang Tua Rega gak bakalan menjerumuskan Rega dengan menikahkan Rega."
"Iya, Bund. Makasih. Rega pamit, ya."
Rega buru-buru keluar rumah Bunda, dia masuk ke mobilnya lalu meninggalkan perumahan itu. Di jalan besar, Rega menepi sejenak. Ingin rasanya bilang tentang apa yang dia rasakan sama Bunda. Tapi Rega malu, menikah baru seminggu sudah ada prahara. Mau disimpan di mana mukanya?
Ah, kenapa pula mama papanya menikahkan Rega cepat-cepat, dengan lelaki pula. Seharusnya Rega kini sedang bahagia, menyiapkan lamaran kerja ke pabrik-pabrik sesuai dengan mimpinya. Merintis karier sesuai dengan ilmu yang dia dapatkan di universitas.
Rega tidak tahu harus ke mana lagi, karena berkunjung ke rumah Biru saat ini bukanlah hal yang tepat. Rega belum siap mengungkapkan segala kegelisahan hatinya kepada sahabatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Happiness (MPREG) [End]
RomantizmRega Januar, harus mengubur cita-cita dan mengejar kebahagiaan dengan pria asing yang tiba-tiba menjadi suaminya. Mungkin ini karma karena selalu meledek Pasangan Kastara Bimasena dan Sagara Biru. Side Story Sagara Biru Disclaimer: Cerita ini 100% h...