11. Uluran Tangan dari Pria Itu

83 20 6
                                    

MATA PRIA itu sehitam obsidian. Pupilnya menyatu bersama kegelapan iris. Walau begitu, kedua mata bersinar terang. Binar di mata itu menarikku larut dalam cengkeraman buaian. Ialah si Batin Hitam, entitas yang menghipnotismu dengan uluran tangan.

Ia datang begitu saja. Tidak ada yang memanggilnya kemari. Tahu-tahu Entitas Batin Hitam ada di sampingku. Tanpa banyak berbasa-basi, tangan itu terulur padaku. Kutahu ia ingin mengenalkan diri. Namun peringatan Ilyasa dan Anka membuatku ragu.

Aku berpaling dari tatapannya. Tangan kusembunyikan di belakang tubuh. "Kapan-kapan," jawabku menolak undangan. Aku beranjak dari tempatku. Kutinggalkan Entitas Hitam begitu saja.

Pria itu sama sekali tak menahan kepergianku. Ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Pria itu sekadar tersenyum ramah padaku. Sungguh makhluk aneh. Ia datang tak diundang, lalu menyapa, tapi tak berusaha mengobrol dengan lawan bicara.

"Sayang banget, padahal aku punya sesuatu yang kamu butuhkan," katanya.

Aku berhenti melangkah.

"Mama-Papa nunggu kamu bangun dari koma, Zara," lanjutnya.

Aku berbalik.

"Sayang sekali setahun berlalu, tapi kamu belum juga sembuh."

Aku menghadapnya.

Kutatap mata yang berbinar-binar itu. Ia sekali lagi mengulurkan tangan. Tanpa kata-kata, Entitas Batin Hitam ingin berkenalan denganku. Pria itu hendak menceritakan lebih banyak hal.

Kata Ilyasa, Entitas Batin Hitam punya kuasa besar, tapi ia berbahaya. Ilyasa bilang kali pertama dirinya bertemu dengan Batin Hitam adalah di saat-saat ia larut dalam keputusasaan. Entitas itu datang begitu saja, membawanya masuk ke dunia yang sama sekali tak pernah Ilyasa lihat.

Ia membuai Ilyasa dengan kemudahan, tapi anak cowok itu sadar, ada maksud dari sebuah tindakan. Ilyasa lantas pulang. Ia tak ingin berhubungan dengan entitas itu lebih dalam. Jika seberbahaya itu, seharusnya aku juga hati-hati.

Aku kembali menarik tangan. Kugelengkan kepala. "Maaf, kapan-kapan aja." Aku berlari meninggalkannya. Langkah kakiku begitu cepat. Saking jauh aku berlari, siluet pria itu mengecil di kejauhan. Aku berbelok di persimpangan gang, lalu beristirahat di sembarang rumah warga.

Perkataan Entitas Hitam begitu menarik perhatian, tapi rasa takutku lebih besar. Tidak ada Ilyasa di sini. Aku tidak mau berbuat macam-macam tanpa cowok itu di sampingku. Bagaimana jika aku diculik oleh makhluk itu?

Tapi sial, ia membuatku uring-uringan. Sekarang aku berpikir apa benar diriku ini sedang koma? Jika dipikir-pikir perkataan Lui masuk akal: 'pertaruhan antara hidup-mati' ... kondisi koma itu ideal dengan deskripsi Lui.

Mungkin akan lebih aman kalau aku tanya-tanya ke Anka. Akhirnya aku buru-buru menuju ke perkotaan. Tapi baru saja beranjak dari duduk, aku mendengar suara ketukan sepatu di belakang rumah.

Apa mungkin itu si Entitas Hitam? Seharusnya aku bisa lebih jelas lagi untuk menolak tawaran. Ia malah mengekoriku. "'Kan udah kubilang aku gak mau mampir dulu!" Namun di halaman belakang tidak ada siapa pun. "Hitam?" lirihku.

Aku mengecek setiap jengkal pemandangan di sekeliling rumah. Mungkin ia bersembunyi di balik dinding, tapi nihil. Kemudian terdengar goresan kaca. Mataku beralih ke arah sumber suara. Tapi tetap tidak ada pergerakan siluet yang bersembunyi. Aku berlari mendekati sumber suara, tetapi semua jendela aman.

Tidak jauh dari sini, terdengar bunyi pagar digeser. Aku berpindah menuju ke sumber suara itu. Dan benar! Pagar rumah warga terbuka setengah. Tapi aku maju mundur mau masuk ke dalam.

Tidak mungkin ada orang, 'kan? Cuma aku yang dapat melihat pemandangan perumahan ini. Tidak ada satupun jiwa tersesat yang punya pemandangan sama denganku.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang