2. Pria Berjas Hitam

197 45 9
                                    

Ada satu hal paling berubah di hidupku (saat ini). Bukan orang-orang yang tiba-tiba menghilang atau lingkungan aneh, melainkan fisikku. Aku baru sadar fisikku menyerupai anak SMP. Pantas saja Ilyasa kesal saat aku memanggilnya ‘dek’. Kami sama-sama masih bocil.

Seingatku aku bukan anak SMP. Sepertinya aku sudah lulus SMP deh. Aku pernah masuk kelas 10 SMA. Aku ingat betul dapat teman sebangku tukang ngibul. Sudah tahu masuk remaja bongsor, kenapa tubuhku mengerdil? Akhirnya aku menyimpulkan, “Ini lucid dream gak sih? Jarang-jarang aku sadar di dunia mimpi—eh berarti aku bisa terbang, dong?!”

Ilyasa terkekeh. Ia memintaku segera terbang. Ilyasa ingin diajak terbang juga. Aku mengepakkan kedua tangan, lalu berlari menyibak tanah lapang. Kakiku melenting tinggi. Aku siap mengudara!

Tapi mau sejauh apa pun kakiku berlari, tidak ada tanda-tanda kakiku melayang. Ilyasa meneriakkan namaku. Ia berlari menyusul. Kami berdiri di tengah-tengah rerumputan teki. “Kok gak lepas landas?”

Aku berdecak. “Enggak tahu nih. Duh aku pengin cepat-cepat bangun deh.”

“Susah sih kalau mau bangun tidur.” Ilyasa menarik tanganku. “Kita ke toko aja. Orang-orang di sana paham ginian.”

Sebenarnya yang kutahu dari lucid dream sebatas sadar di dunia mimpi. Kupikif saat berada di kondisi lucid dream, aku berkuasa atas kesadaranku. Tapi sesimpel terbang di langit pun aku tidak mampu mewujudkan.

Terlebih bagaimana bisa ada Ilyasa di dunia mimpi? Mmm maksudku Ilyasa ‘kan cuma salah satu bentuk mimpi, tapi kenapa dia seperti punya kesadaran sendiri? Mana bisa ada kesadaran buatan di dalam mimpiku?

Ilyasa membimbingku melintasi gang demi gang perumahan. Ia tampak tenang dan fasih melintasi liku demi liku jalanan. Aku sudah bilang kalau tidak ada siapa pun di sini. Ilyasa justru mengatakan sesuatu yang tidak nyambung. “Ya itu ‘kan visimu.”

“Kamu ngomong apa, sih, Il?”

Ilyasa tidak mau menjelaskan. Ia bilang ribet. Katanya rumit menjelaskan ini kepadaku, makanya ia membawaku ke orang-orang yang paham fenomena ini. Ilyasa tampak seperti sepuh yang hapal seluk beluk mimpiku dibandingkan diriku sendiri.

Jadi maksudnya Ilyasa ini kesadaran yang menumpang hidup di kesadaranku sendiri?! Sebenarnya aku tidak tahu sedang ngomong apa. Hanya saja Ilyasa terlalu paham.

Jalanan yang kami lewati persis seperti tempat tinggalku, bedanya tidak ada orang. Hewan juga tidak ada. Ngomong-ngomong di padang tadi juga tidak ada serangga. Biasanya di tempat-tempat terbuka seperti itu banyak sekali hewan-hewan kecil. Justru yang kudengar hanya gesekan dedaunan dan angin kencang.

Aku berhenti sejenak di tengah-tengah perjalanan. Samar-samar tercium bau kapur barus. Memang betul baju Ilyasa wangi kapur barus, tetapi entah kenapa wanginya menyebar ke segala arah. Ilyasa bertanya, aku merengut. Kuminta ia berjalan lebih dulu, aku mengekorinya. Ilyasa kebingungan, tapi ia tidak masalah.

Ilyasa berjarak lima meter dari tempatku berdiri. Punggungnya kecil. Aku belum tanya umurnya, sih, tapi kalau kutaksir pasti bocil baru naik SMP. Dari jarak sejauh ini, lehernya tampak hitam. Bukan hitam secara harfiah, tapi Ilyasa sepertinya hobi main layangan, jadi keseluruhan badannya macam anak bolang. Bau matahari lebih cocok dengan Ilyasa dibandingkan bau kapur barus.

Bau kapur barus di baju Ilyasa sih tidak sekuat tadi, tetapi entah kenapa masih tercium samar-samar wangi khas benda itu. Seakan-akan setiap rumah yang kulewati menyimpan sekarung kapur barus. Wanginya memang samar, tetapi cukup mengganggu. Bagaimana bisa dunia mimpi yang mengaturku?

Aku melihat sekeliling. Rumah-rumah tertutup rapat. Tidak ada sedikitpun eksistensi seperti penampakan yang baru saja kulihat di rumah Buk Tri. Benar-benar sunyi sampai telingaku berdenging. Dan di antara kesunyian itu, samar-samar wangi kapur barus memenuhi seluruh perumahan.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang