12. Pohon Beringin

82 17 10
                                    

HAL PERTAMA yang kutanyakan ke Enhi adalah makhluk apa yang mengejarku? Jawaban Enhi sederhana: tidak tahu. Tapi kuingat sekilas wajahnya waspada sesaat. Kurasa ia sedang menyembunyikan sesuatu ....

"Enggak tahu." Enhi keukeh. "Sebenarnya aku baru tahu fenomena itu, makanya wajahku kayak gitu."

Baik Lui maupun makhluk ini, keduanya sama saja. Kukira menjadi bagian dari dunia nol, mereka lebih paham. "Apa karena aku kasus baru di dunia nol?"

"Kemungkinan iya. Habisnya kau aneh! Belum mati, tapi malah nangkring di sini."

"Siapa juga yang mau nangkring di sini?!"

Ia menggunakan embel-embel 'Si Paling Besar Kuasanya', tapi hal semacam ini tidak tahu. Ternyata benar, ya, iklan suka sekali gembar-gembor produk. Aku jadi sebal sendiri.

"Gimana kalau soal statusku yang 'koma'?"

Enhi tidak mau menjawab. Ia malah tersenyum kecil. Ia sangat sengaja enggan berbicara. Katanya aku harus mampir ke pohon beringin hitam itu, baru ia mau buka suara. Mau tak mau aku harus ke sana.

Seharusnya taman bunga ini harus berwarna hitam, tapi Enhi mengubah tampilan taman favoritnya untukku. Langit mendung berubah menjadi biru berawan. Cahaya matahari menyemai krisan. Bunga-bunga kecil menari ditiup angin. Semerbak melati menyelimuti hangatnya taman.

Saat kuelus bunga-bunganya, baru kusadari seluruh tangkai mengarah ke pohon beringin hitam. Walau matahari ada di atas, semua tanaman menghadap pohon beringin. Seakan-akan hidupnya hanya ditopang oleh pohon hitam itu.

Betapa raksasanya beringin hitam. Ia tinggi menjulang mencakar langit, tangkainya lebar seperti pohon di hutan hujan tropis. Akar-akar yang menggantung itu sangat panjang dan lebat, persis menyerupai tirai.

Enhi melangkah terlebih dahulu. Ia tenggelam di antara tirai akar, sedangkan aku berjalan maju-mundur. Tangan Enhi terulur dari balik tirai. Gerakan tangannya memintaku bergegas. Aku mengenggam tangannya erat. Tanganku ditarik menyibak uraian akar yang lebatnya persis menyerupai rambut manusia.

Di balik tirai, ada sekumpulan anggrek hitam yang menempel di batang pohon beringin. Anggrek-anggrek hitam itu tumbuh tumpang tindih di sekitaran batang, merambat sampai ke cabang pohon lainnya.

Seketika leherku merinding. Seharusnya anggrek hitam menjadi primadona karena langka, tapi entah kenapa di sini aku seperti melihat kumpulan serangga menggeliat di batang pohon. Aku sampai menggosok-gosokkan leher yang tidak berhenti menegang.

"Jangan bilang kamu geli," kata Enhi kecewa. Senyumannya layu. "Padahal aku udah nyusun ini dari lama."

"Maaf, tapi badanku enggak bisa bohong."

"Belajar bohong, lah! Minimal bikin lawan bicaramu nyaman." Enhi menjentikkan jemari. Cahaya matahari—yang entah datang dari mana—tiba-tiba menyinari beringin. Setiap detail anggreknya menjadi begitu jelas. Perlahan anggrek-anggrek itu berubah menjadi beraneka macam warna. "Walau kuubah, tetap enggak mengubah fakta kalau tamanku warna hitam."

"Oke, mendingan." Leher dan lenganku tidak lagi merinding. Anggrek yang berwarna-warni ini menjadi indah menyerupai permen-permen manis. "Bisa langsung ke inti, gak?"

Ia berdecak. Bintang satu untukku karena aku tidak ramah. Tak masalah. Aku juga memberikan Enhi bintang satu karena terlalu berharap tamannya dipuji-puji.

Enhi sengaja tidak langsung bercerita karena ia ingin menunjukkan pohon ini. Katanya di sinilah Enhi mengobrol dengan orang-orang. Beringin inilah yang menjadi saksi bisu perjanjiannya dengan manusia.

Aku tidak paham apa hubungan antara koma yang kualami dengan perjanjian manusia. Enhi melanjutkan bahwa aku bisa mendapatkan apa pun yang kuinginkan. Enhi memberikanku setangkai anggrek putih. Anggrek ini tampak normal, tapi aku masih tak paham.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang