ENHI ITU BERBAHAYA. Jika tingkatan berbahaya bisa diukur, maka hasilnya 9/10. Seluruh jiwa tersesat sangat dilarang mendekati Enhi. Ia dapat memperdaya, sebab wujudnya berupa kumpulan batin hitam manusia.
Enhi mengerti isi hatimu. Mudah membolak-balikkan hati seorang manusia, apalagi jiwa tersesat. Hidup di dunia yang penuh kegamangan membuat jiwa-jiwa tersesat lebih rapuh dari yang mereka sangka.
"Lalu kenapa Ilyasa nekat masuk ke sana?" adalah pertanyaan yang kulontarkan pada mereka. Lui dan Anka tidak tahu. Yang pasti apabila jiwa tersesat berhubungan intens dengan Enhi, berarti mereka mengalami kerapuhan hati parah. Kemungkinan Ilyasa sangat frustrasi dengan pencarian riwayat hidupnya.
"Kamu penjaga Ilyasa, bukan? Kenapa enggak mau mencegahnya, Lui?"
Lui menundukkan kepala. Lagi-lagi Lui tidak mau menatapku. "Ini tidak semudah yang kamu bicarakan, Zara. Manusia itu kompleks. Walau aku mengunci manusia di sebuah ruangan tanpa jendela dan pintu, mereka pasti akan menggali tanah untuk keluar—bahkan bila jarinya berdarah sekalipun."
"Yang penting kamu aman, Zar." Anka menepuk pundakku berkali-kali seperti sedang memalu. "Gimana rasanya dipelototin Ilyasa?"
"Dih!" Aku berdecak. Aku terlalu jaim berkata kalau itu cukup menakutkan. Seakan-akan tahu isi pikiranku, Anka menggoda. Katanya tanganku gemetaran. Aku seperti anak kucing yang berhadapan dengan pit bull.
Setidaknya hiburan dari Anka membuat suasana sedikit mencair. Lui juga menjadi lebih santai. Bersama Lui dan Anka, aku menceritakan apa-apa yang terjadi saat berada di taman Entitas Batin Hitam.
Mereka bertatapan muka mendengar kisahku. Aku tidak tahu persis apa makna dari tatapan mereka, tapi setelah itu aku bertanya, "Apa Lui bisa ke sana?"
Lui bertanya balik, "Kenapa kamu tanya itu?"
"Habisnya Lui bilang taman si Enhi berada di dimensi yang berbeda. Aku penasaran apa cuma orang-orang tertentu yang bisa ke sana seperti kata kalian tadi?"
"Enggak juga. Aku bisa ke sana, kok, tapi mending ngurus lainnya daripada mampir ke sana."
Anka memicingkan mata. "Memang kerjamu apa, sih, Ui?"
"Sejak kapan namaku jadi 'Ui'?" Lui balik memicingkan mata. "Aku gini-gini urusannya banyak, ya! Dikira aku cuma ngurus Ilyasa?"
"Memangnya kantor cabangmu di mana, Lui?" Kukira ini satu-satunya kawasan toko.
"Ini bukan dunia nyata, Zar. Enggak ada kantor cabang." Lui tertawa kecil. "Sama seperti Ilyasa, mereka gak suka nangkring di toko. Cuma modelan Anka yang suka rutinitas daripada malas-malasan."
"Aku gak tau itu pujian atau hinaan." Anka berdecih. "Kuanggap itu pujian."
Kami bertiga asik mengobrol sampai lupa Ilyasa. Entah ia berada di mana, Anka dan Lui tidak peduli. Mereka seperti sudah terbiasa dengan tingkah Ilyasa. Jadi ketika cowok itu ngambek, mereka menganggapnya sebagai kentut numpang lewat.
Lui menggelar makanan dan minuman untukku dan Anka. Di tengah-tengah merumpi asik tentang tingkah Ilyasa, Lui berceletuk, "Aku lupa mau bilang ini: kurasa aku tahu kenapa kamu bisa membaur di masa lalu Ilyasa."
Keanehan yang kualami itu normal. Justru itu bagus. Artinya kemungkinan besar aku masih hidup. Orang-orang yang telah mati tidak dapat dilihat secara kasatmata. Riwayat hidup yang tiba-tiba kumiliki (seperti punya orangtua atau rumah) sekadar kehidupan buatan. Jika aku kembali ke dunia nol, kehidupan buatan itu akan sirna.
"Maksudnya gimana, sih, Ui? Terus kehidupan orangtua buatannya si Zara hilang gitu aja?"
"Tolong panggil namaku lebih lengkap." Lui memasang wajah ketus. "Iya sekadar ada. Riwayat hidup mereka hilang gitu aja."