7. Pria Itu Memberiku Wink

115 26 4
                                    

KUKIRA IA LUI. Ia dan Lui sama-sama pria dewasa. Namun saat ia menoleh padaku, kutahu Lui kalah ganteng dengannya. Entah kalah dari segi apa, yang pasti aku lebih tertarik dengan pria satu ini.

"Kayaknya kita gak pernah ketemu." Adalah kalimat pembuka dariku untuk membalas sapaannya.

"Ah masa gak pernah?" Pria itu berjalan kemari. Tidak seperti Lui yang membuatku merinding sebadan, kehadirannya membuatku sedikit nyaman.

"Kamu siapa, ya?" Kulihat dirinya dari atas ke bawah. Perawakannya seperti pria dua puluhan.

"Kalau kamu enggak kenal aku, kamu gak bakal datang kemari." Pria itu bersimpuh menyejajari badannya dengan tinggiku. "Coba kutanya, kamu kemari karena apa?"

Aku ragu-ragu menjawab. Masalahnya ia orang asing. Lagipula ini tempat sepi. Bisa-bisa ia meringkusku. "Cuma kebetulan."

"Kayaknya salah orang." Ia menghela napas, lalu beranjak dari posisinya. "Kata Ilyasa ada yang kejebak di sini, ternyata cuma asumsi—"

"Kapur barus! Aku nyium bau kapur barus. Jadi aku datang ke sini," potongku. "Om tau Ilyasa?! Mana dia?"

Ia menyeringai kecil. "Ilyasa selama ini ada di dekatmu, loh, di sekolahan."

"Di kelas sebelah, 'kan? Enggak, itu bukan Ilyasa yang kumaksud."

"Enggak, kok. Ilyasa beneran ada di dekatmu. Ilyasa sempat kasih sinyal pas kamu di UKS, tapi kamu kesulitan. Yang ada dia capek sendiri gerakin barang-barang." Pria itu menunjuk dirinya sendiri. "Akhirnya dia minta bantuanku."

Aku bingung memilih percaya atau tidak. Setelah semua keanehan yang terjadi, haruskah aku mempercayai? Di dunia ini hanya dia yang tahu tentang Ilyasa.

Mungkin karena tahu aku meragukannya, pria itu menjentikkan jari. Seketika muncul sosok Ilyasa yang tembus pandang. Ia berada di samping pria itu. Sontak aku memeluknya, namun nihil. Keberadaan Ilyasa tipis sekali. Apa pun yang anak cowok ini ucapkan sama sekali tak terdengar.

"Yah sayang sekali gak bisa pelukan," kata pria itu. Kedengarannya seperti mengejek.

Aku menatapnya kesal, tapi ia ucapan pria itu terdengar natural. Ia tidak merasa bersalah. Apa yang diucapkan seperti kata-kata biasa. Padahal sudah sebulan lebih aku terjebak di sini!

"Gimana caranya biar aku bisa balik?"

"Ey tenang, jangan melotot gitu."

"Menurutmu kejebak di sini bikin happy gitu?! Dan caramu ngomong ke kami sopan banget, ya."

Pria itu menyentil jidatku. "Bocil enggak usah sok gitu."

Kugosok jidatku yang memanas. "Aku bukan bocil! Ini bukan wujudku tau!"

"Sekarang gini, deh." Ia kembali berjongkok untuk menyejajari pandangan matanya padaku. "Kamu mau pulang, gak? Kalau mau, enggak usah ngomel-ngomel."

Kuremas rokku begitu kuat. Bagaimana mungkin aku tidak sebal? Caranya berbicara padaku seperti sedang bermain-main. Ia seperti sedang menjalankan tugas alih-alih membantu. Aku tidak melihat empati di kedua matanya.

Daripada menuruti ego, akhirnya kuangguk-anggukkan kepala. "Aku pengin pulang." Suaraku melirih.

"Nah gitu yang nurut. Sebenarnya caranya gampang. Kamu cuma perlu nunggu panggilan alam. Gimana ciri-cirinya katamu? Nanti kamu tahu sendiri. Enggak usah masang wajah kayak gitu." Pria itu mengusap puncak kepalaku. "Jangan bilang apes, anggap aja ini pengalaman. Kapan lagi 'kan bisa kembali ke masa lalu orang lain?"

"Katamu selama ini Ilyasa ada di dekatku?" Ilyasa berjalan di sampingku. Wajahnya begitu khawatir. "Apa kamu bisa bikin Ilyasa kasatmata?"

Salah satu alis pria ini terangkat dan senyumnya terkesan meremehkan. "Beneran mau lihat Ilyasa? Bisa, sih, tapi nanti kamu gak cuma lihat Ilyasa." Jemari-jemarinya bergerak seperti ingin menggelitiki seseorang. Ia tersenyum sangat lebar. "Nanti kamu bakal lihat penghuni asli di kelas dan rumahmu. Mau?"

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang