AKU MEMBELI banyak sekali buku gambar bukan karena suka menggambar. Aku juga tidak sedang buka usaha. Aku membelikannya untuk Ibu. Akhir-akhir ini Ibu sangat suka menggambar.
Ibu anak tunggal. Orangtuanya sudah lama meninggal. Tidak ada saudara yang menemani masa tuanya. Kalau ada, pasti kuajak Ibu berkunjung ke rumah saudara. Jadi simple-nya aku yang menemani ibu mertua di masa tua.
Ibu menghabiskan separuh hidup di kursi roda, jadi ruang geraknya terbatas. Rutinitas Ibu tidak jauh-jauh dari duduk di dekat jendela. Sebuah meja kecil sengaja kutaruh di dekat jendela karena kutahu Ibu suka menghabiskan waktu di sana.
Selepas mandi pagi, Ibu tidak ingin segera sarapan. Ia ingin mejanya sudah ada teh tanpa gula. Pokoknya dua jam sebelum sarapan, Ibu benar-benar fokus pada kegiatan kecilnya seperti menyulam atau membaca koran fisik.
Sebuah jaman yang serba praktis mungkin akan menganggap rutinitas Ibu kuno. Tidak ada yang mau menghabiskan waktu dengan menganyam benang di atas kain. Apa kamu tau, sebuah motif bunga yang Ibu buat bisa menghabiskan waktu delapan jam? Suamiku tidak betah dengan hobi Ibu, ia tidak sabaran.
Selain itu koran fisik tidak banyak dijumpai. Kebanyakan orang maunya serba cepat dan praktis. Mereka suka membaca judul yang click bait. Isi berita juga jangan lebih dari 200 kata, sebab daya fokus orang jaman sekarang sangat pendek.
Kalau dijejali koran fisik yang Ibu baca, mungkin mereka angkat tangan. Suamiku mengakui Ibu hebat. Di umur yang sudah senja, daya fokusnya luar biasa (atau memang gaya hidup orang zaman sekarang memprihatinkan?)
Ibu juga hobi menulis. Ia bisa menghabiskan 12 jam dalam seminggu untuk menulis. Ia menulis apa pun ... benar-benar menulis apa pun yang ada di pikirannya. Kadang paragraf satu dengan lainnya tidak nyambung, kadang ia menulis list belanjaan, tapi seringnya Ibu menulis cerita fiksi.
Ibu bisa bahagia, marah, menangis, dan frustrasi karena tulisan fiksi. Ibu bisa menghabiskan lima buku dalam seminggu untuk ia tulis. Kadang tulisannya ia sobek satu persatu. Jadi jangan membayangkan meja ibuku sangat rapi, justru keadaannya malah sebaliknya.
Kalau sedang marah tulisannya akan diremas lalu dibuang ke sembarang tempat. Saat stresnya mereda, ia meminta suamiku mengumpulkan kembali tulisannya. Ibu menyusun kembali tulisan-tulisan itu, merekatkannya ke dalam buku, lalu membaca ulang tulisannya. Setelah itu ia akan menangis.
Kami berencana membawa Ibu ke psikolog, tapi ia menolak. Ia sangat menentang. Ia pernah membentak kami kalau emosinya sedang tidak stabil. Satu waktu aku menanyakan alasannya. Ibu bilang kami tidak akan mengerti. Ibu ingin apa pun yang ia ucapkan cukup didengarkan dan diamini.
Satu waktu Ibu bercerita tentang plot ceritanya yang terpotong. Ia frustrasi karena ada satu plot yang hilang. Ibu tidak bisa melanjutkan cerita. Bila dilanjutkan, ceritanya tidak masuk akal. Rasa frustrasi yang besar membawanya pada satu hobi baru: menggambar. Ibu ingin mengalihkan perhatiannya dari buku tulis.
Ibu suka menonton tutorial menggambar. Ia pembelajar yang hebat. Ibu tekun belajar dari dasar, lalu skill menggambarnya meningkat secara pasti. Gambaran Ibu cukup baik untuk seorang pemula. Ia sengaja belajar menggambar karena ingin memvisualisasikan cerita fiksinya.
Ibu suka menggambar pemandangan, tapi ia lebih suka menggambar laki-laki—banyak sekali sketsa laki-laki. Suamiku tertawa melihat tingkah Ibu. Ia berkomentar dulu semasa bujangan, banyak cewek hobi mengoleksi foto-foto pria tampan. Tapi masa iya sekarang Ibu pubertas?
Kami sempat bertanya, "Memang Ibu menggambar siapa?"
Aku ingat betul Ibu diam sejenak. Sepasang mata Ibu yang redup menatap lekat hasil karyanya. Ia termenung cukup lama sampai-sampai detak jam dinding terdengar nyaring di telinga.
Saat suamiku hendak menanyakan ulang, Ibu menoleh ke kami. Ia tersenyum kecil. "Aku menggambar tokoh-tokohku yang hilang dari ingatan."
Minggu, 16 Juni 2024
Fantasi - Petualangan - Romansa
***
Cerita ini sepenuhnya fiksi