6. Wilayah Pinggir

180 32 23
                                    

JATUH SAKIT karena syok itu normal, 'kan? Badanku panas dingin. Setiap tiga jam, kain yang menempel di keningku selalu dibasahi. Kata mantri—yang sempat dipanggil kemari—aku syok berat. Tekanan pelajaran, katanya.

Ah dokter itu tidak akan percaya dengan apa yang kualami. Jadi kubiarkan orang-orang dewasa itu berdebat. Mama Papa (sebenarnya bukan, tapi biarlah sudah) 'agak' dituduh terlalu menekanku. Mereka berdua membela tidak pernah memaksaku.

Aku melihat mereka di kejauhan. Saat sepasang suami istri itu meminta pembelaan dariku, aku melengos. Jangankan minta pembelaan, aku bahkan tidak tahu siapa mereka.

Rumah ini juga asing. Perabotan dan peletakannya aneh. Kuyakin ini bukan rumahku, tapi mereka memanggilku Zara seolah-olah aku terlahir dan hidup di dunia ini.

Beberapa hari setelah syok berat, aku menghibur diri sendiri. Sering kuucapkan kata-kata penenang agar tidak ketakutan. Dua orang dewasa yang mengaku sebagai orangtuaku juga tidak macam-macam. Sikap mereka betulan seperti orangtua yang peduli pada anak.

Kadang aku mempertanyakan siapa diriku ini. Di hari entah ke berapa aku terjebak di dunia ini, aku sering melihat refleksiku di cermin. Inilah wujudku sebagai Zara. Rambutku bergelombang seperti ombak lautan. Kulitku bercahaya layaknya buah langsat. Kata orang-orang wajahku menarik.

"Dipikir-pikir aku cakep juga, ya." Aku tersenyum narsis ke cermin. Kutahu ini cukup narsis dan menggelikan, tapi beginilah caraku mencari hiburan. Sebenarnya tanpa harus lihat cermin, kutahu aku menarik.

Di kelas, aku lumayan populer. Pantas saja banyak anak kecil berbondong-bondong mencariku. Ternyata kepopuleranku membuat anak-anak kecil itu suka mengerubungiku.

Anak-anak cowok suka curi-curi pandang ke arahku. Mereka kadang bertanya kabarku setelah mengalami syok berat. Mulutku sih bilang baik-baik saja, tapi batinku ingin mengumpat. Aku tidak tahu salah apa, tapi malah dibawa ke dunia acak ini.

Pasca syok brutal yang kualami, aku sedikit menerima hidupku. Mau bagaimana lagi? Yang paling bisa kulakukan sejauh ini hanya membiasakan diri dengan kehidupan baru. Akulah Zara, anak kecil yang masih kelas 6 SD. Diriku ditempatkan di kelas unggulan, bersama anak-anak yang hobi belajar. Di sekolah tertinggal ini, ternyata ada anak-anak yang berambisi mengejar cita-cita.

Di lingkungan yang serba tidak praktis, aku dipertemukan dengan gerobak pengangkut pasir. Pernah dengar hewan pengangkut barang? Nah aku sering melihat gerobak sebesar pick up sedang ditarik dua ekor sapi. Gerobak-gerobak ini melintasi jalanan depan sekolahku setiap pagi.

Sapi-sapi melintasi jalanan aspal. Mereka berjalan lambat dengan air liur yang menetes deras. Kadang sapi-sapi ini berhenti di jalan untuk buang air besar. Tahinya ada di mana-mana.

Orang-orang di sini membiarkan tahi-tahi berceceran. Bahkan kendaraan suka melindas tahi benyek itu sampai menyatu dengan aspal. Tidak ada yang membersihkan jalanan, hanya hujan yang mau.

Pemandangan seperti itu cukup baru bagiku, tapi aku tidak tahan dengan tahinya. Aku sempat protes. Tidak sebau tahi kucing, sih, tapi merusak pemandangan. Mama Papa tertawa jenaka. Kata mereka tidak biasanya aku mengomel.

Memang seharusnya aku terbiasa, sih, tapi masalahnya aku tiba-tiba berada di lingkungan baru. Aku butuh banyak penyesuaian. Terkadang penyesuaian yang membuatku sadar kalau ini bukanlah duniaku.

Diam-diam aku mengamati sekelilingku. Kukumpulkan informasi yang sekiranya membantu. Kesimpulannya aku sekarang berada di wilayah pinggiran, lebih tepatnya pedesaan. Dikatakan desa banget sih enggak, kalau dibilang kota juga gak setara. Yang pasti di sinilah aku bisa melihat sawah! Sawah di mana-mana. Pemandangan di pinggir jalanan aspal kalau bukan ruko ya sawah.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang