KEJADIANNYA BEGITU CEPAT. Ibarat mesin, aku yang baru menyala langsung diremukkan. Kepala ini tidak dapat mencerna peristiwa tadi.
Untuk ke depannya ini menjadi sangat membingungkan. Aku mengalami kejadian lebih gila. Tapi pertama-tama mari kujelaskan apa yang terjadi setelah aku ditabrak kereta.
Semuanya gelap. Kesadaranku diambil perlahan. Aku tak tahu apakah mati atau masih hidup. Yang pasti rasanya seperti tenggelam di pulau kapuk. Aku terlelap untuk beberapa saat, lalu sadar.
Saat membuka mata, aku berada di tempat berbeda. Tempat ini sama sekali bukan padang rumput, melainkan ruang kelas. Tahu-tahu aku duduk di salah satu bangku.
Jantungku berdentum kuat. Dadaku kembang kempis. Aku termengap-mengap menarik napas. Tangan dan kaki gemetar hebat. Aku syok bukan karena berada di tempat berbeda. Aku syok karena badanku tetap utuh.
Aku memeluk badanku sendiri yang gemetar hebat. Keringat menetes deras melalui pelipis. Aku bahkan tidak bisa membedakan mana keringat dan air mata.
Puluhan anak kecil menatapku heran, sisanya ketakutan. "Kamu kenapa?" Orang-orang yang tak kukenal mengerubungi. Aku tidak mau menatap mereka. Sumpah aku tidak peduli. Yang kulakukan sekadar menutup mata dan meringkuk.
Seorang guru mencoba menuntunku berdiri, tapi kakiku loyo. Seketika aku terjatuh. Ruangan menjadi lebih riuh. Kudengar teriakan minta tolong. Aku dibopong ke ruangan seperti UKS.
Semua heboh. Anak-anak kecil itu mengintip melalui jendela. Mereka penasaran . Jumlah mereka bertambah. Seorang bapak-bapak menggertak. Mereka kocar-kacir ke kelas masing-masing.
Sulit menceritakan ini seakurat mungkin. Yang pasti setelah ditabrak, aku berada di kelas. Entah mereka semua siapa. Sesaat setelah membuka mata, mereka ikutan syok menatapku.
Seorang wanita mendatangiku. Ia meletakkan teh di samping nakas. "Kamu sakit, ya?" Ia mengelap keringat di dahiku. "Ibu panggil Mama Papa kamu, ya—?"
Aku menatap wanita ini lekat-lekat. "Aku di mana? Sekarang hari apa? Kamu siapa? Kenapa aku di sini?! Di mana Ilya—!"
"Tenang, Nak, tenang." Ia mengelus punggungku. Aku masih belum bisa mengendalikan napasku. Ia menawariku teh hangat. Semuanya kuhabiskan tanpa jeda.
"Kenapa mereka natap aku aneh?" potongku.
Wajahnya kebingungan. "Kamu tiba-tiba teriak kencang."
Ia—yang tak kukenal siapa—menyuruhku istirahat. Aku meringkuk di kasur UKS sendirian tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal baru beberapa menit lalu Ilyasa menggenggam erat tanganku. Tiba-tiba aku berada di sini bersama orang-orang dan lingkungan yang tak kukenal.
Aku menutup wajahku rapat-rapat. Air mengalir melalui sudut mata. Buru-buru kuhapus air mata sebelum meluber ke mana-mana. Aku menenangkan diriku, minimal tangan dan kakiku tidak gemetar.
Setelah cukup tenang, baru kusadari aku mengenakan seragam merah putih. Badanku juga mengecil. Aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Kubuka pintu UKS, lalu aku menyusuri lorong sekolah yang tak kukenal.
Kuyakin ini bukan sekolahku karena lihatlah! Detail tempatnya sangat tidak mirip dengan ingatanku. Bahkan rupa orang-orang tidak familier. Desain sekolah kelewat sederhana dibandingkan sekolah SD-ku.
Dulu SD-ku ada air mancur, tapi sekolah ini sekadar punya kebun kedondong dan pohon mangga. Lorong-lorong minim penerangan, plafon berlubang, dan banyak kursi berserakan di sisi lorong.
Aku harus mengendap-endap agar tidak ketahuan guru. Kuyakin mereka pasti meringkusku yang keliling tidak jelas, padahal kegiatan mengajar sedang berlangsung. Aku ingin mencari Ilyasa, tapi ia tidak ada di manapun.