SERATUS PERSEN aku yakin bangun dari tidur. Kuyakin teman-teman tertarik dengan cerita mimpi anehku. Topik ini pasti dibahas berhari-hari. Kutahu itu karena mereka suka dengan sesuatu berbau tak kasatmata dan sejenisnya. Mimpi adalah top tier-nya.
Sialnya aku masih terjebak di sini. Keadaan masih sama seperti kemarin: pagi hari, kabut, sunyi, tidak ada orang. Jika teman-temanku mengalami ini, aku yakin mereka kapok mencoba lucid dream.
Aku panik dengan situasi ini. Panik banget malahan. Tapi aku tidak punya tenaga berlari keranjingan seperti kemarin. Badanku lemas. Kakiku tidak kuat menopang badan, akhirnya aku terjatuh di teras depan. Tenaga yang tersisa kugunakan untuk menangis sepuas-puasnya.
Padahal kemarin-kemarin tidak begini. Aku mengobrol dengan keluarga. Mereka cerita masalah hidup orang dewasa. Kadang aku mengeluh dengan topik garing mereka berdua. Aku juga suka sebal dengan tetangga yang hobi teriak-teriak, knalpot digeber tiap pagi, atau anak kecil penguasa jalanan.
Sekarang kuharap Mama Papa ada di sini. Daripada mencium wangi kapur barus di mana-mana, aku lebih ingin mendengar keramaian atau melihat siluet orang. Penampilanku tidak karuan. Aku baru bangun tidur. Rambut belum kusisir, mata belekan.
Ilyasa memanggil namaku di kejauhan, lalu tergopoh-gopoh menghampiri. Anak cowok itu bersimpuh di hadapanku. Ia melihatku dari atas ke bawah. "Kukira kamu udah bangun dari mimpi."
"Aku terjebak di sini!" Mataku mengalirkan lebih banyak air. Aku tidak peduli dengan belek mata sebesar biji jagung atau ingus yang meler deras dari hidung. Saking lamanya menangis, aku jadi tersengguk-sengguk.
Ilyasa memberiku saputangan yang entah dapat dari mana. "Belekmu dibersihin dulu gih." Tatapannya agak jijik.
Aku menangis lebih kencang lagi. Ilyasa bisa gak sih lebih peka? Aku enggak bisa pulang ke rumah malah dikomentari penampilanku.
Kukira Ilyasa akan menunggu sampai tangisanku mereda, ternyata tangannya terulur mengusap pipiku. Saputangannya membersihkan air mata di kedua sudut mataku. Ia bahkan membersihkan belek mata walau kutahu kerlingan matanya menahan jijik. Saking kagetnya dengan sikap Ilyasa, aku sampai lupa kalau sudah menangis berjam-jam.
Ilyasa memberi saputangannya padaku. "Ingusnya kamu bersihkan sendiri."
Aku membuang semua ingusku, lalu memberikannya ke Ilyasa. Ilyasa meringis geli. "Bu-kannya i-ini pu-pu-punyamu?" kataku terbata-bata karena senggukan.
"Minimal dibersihkan dulu gak sih?!"
Aku mengusap mataku yang membengkak parah. "Ya-udah se-se-kalian aku bersihin pas m-mandi."
Ilyasa membeliak. "Gak usah mandi, Zar!"
"Kan b-bau!"
"Coba cium badanmu."
Ternyata benar. Aku tidak mencium apa pun. "K-kok bisa ya?"
"Soalnya mimpi, jadi gak usah mandi." Tatapan Ilyasa padaku jadi tidak fokus. Ia melihat ke sembarang arah. Tapi yang pasti telinganya sedikit memerah. Warna merahnya menjalar ke wajah. "Cuci muka aja Zara," lirihnya. Ilyasa langsung pergi meninggalkanku. Jalannya begitu cepat seperti takut ketinggalan kereta.
Sejenak aku tidak peduli dengan tingkahnya. Aku berjalan lesu ke kamar mandi sambil memikirkan cara pulang. Saat membuka kancing baju, baru kuingat sesuatu. Ilyasa tidak bisa melihat rumahku, ia lihat aku tidur di rumput ....
Aku sontak menutupi badanku. "Bocah mesum!!"
Naphthalene
Ilyasa bersujud di kakiku. Ia bersumpah tidak melihat hal aneh. "Aku pertama kali lihat kamu pas kamu samperin aku, Zar."