8. Pria Toko Berwajah Cerah

136 30 26
                                    

KERETA ITU menghantamku. Aku tidak sempat berteriak. Tahu-tahu aku hilang kesadaran. Rasanya seperti tidur panjang, jadi bangun-bangun badanku lemas.

Hal yang kulihat pertama kali adalah Ilyasa. Matanya sayu dan alis layu. Sudut mata Ilyasa berair. Saat menutup mata, airnya menetes di lengan bajuku. Kalimat pertama yang ia keluarkan adalah 'maaf' dengan suara parau.

Tanganku tergerak mengusap sudut matanya yang berair. "Makasih." Bibirku tidak mampu berkata lebih panjang karena terlalu besar rasa terima kasihku padanya. Ternyata Ilyasa tidak pernah meninggalkanku. Ia juga yang memelukku saat kami ditabrak kereta.

Ah ... aku baru ingat, kali pertama ditabrak kereta, Ilyasa-lah yang melindungiku.

Saat tenagaku pulih, aku bangkit dari tidur panjang. Kulihat kedua tanganku tidak lagi mungil seperti anak SD yang tak berdaya. Dan syukurlah aku tidak terkena syok berat. Mungkin ini efek tidur panjang.

Ilyasa mendekapku. Wangi kapur barus yang merekat di bajunya menyusup pelan ke hidungku. Ia mengelus pelan puncak kepalaku sambil mengulang kata maaf.

Air mataku menyungai melalui pipi. Aku tidak tahu tipe tangisan apa ini. Apakah ini tangisan haru karena aku kembali kemari, atau tangisan sedih karena mengetahui aku belum kembali ke dunia asliku?

Ilyasa menjelaskan selama ini ia mencari cara membawaku pulang. Bukan kepalang kaget dirinya saat aku malah membaur hidup dengan orang-orang. Sementara itu dirinya transparan. Singkatnya kami berada di dimensi berbeda.

Anak cowok itu mengekoriku ke mana-mana. Saat aku bersembunyi di lorong sepi sekalipun, Ilyasa berusaha menghibur. Namun nihil. Ia tidak berada di tempat yang sama denganku. Sebagai makhluk yang berada di lapisan berbeda, Ilyasa membuat sinyal-sinyal keberadaannya padaku.

Ilyasa menggunakan tenaga dalam untuk menggerakkan benda-benda. Itu cukup menarik perhatianku, tapi malangnya aku malah pingsan. Sosok di UKS itu dirinya. Kata Ilyasa memang begitu wujud sisa-sisa energi orang mati. Ibarat remahan roti, bentukannya tidak jelas—bahkan cenderung mengerikan.

Karena ruang gerak Ilyasa terbatas, ia tidak bisa mengekori sampai ke rumah. Ia hanya dapat bergerak di sekolah, rumah, dan beberapa tempat yang sering ia kunjungi. Rumah—gaib—ku tidak termasuk yang pernah Ilyasa temui.

Ilyasa bolak-balik mencari keberadaanku. Rumit menjelaskannya, tapi perjalanan kembali ke masa lalu itu tidak instan. Ilyasa perlu pulang pergi ke dunia nol. Tak terhitung berapa kali dirinya menjalani simulasi tertabrak kereta. Ia melakukan semuanya sendiri demi bisa mengawasiku.

Karena tak sanggup, akhirnya ia meminta pertolongan ke seorang pria yang kapan hari menyentilku. Ilyasa dan pria itu berhasil kembali ke masa lalu yang diinginkan. Pria itulah yang membuat Ilyasa tampak di mataku.

Dengan kata lain, pria itu punya kuasa yang besar. "Kenapa tidak Lui?" tanyaku saat kami tepat berada di depan toko Lui. Mau bagaimanapun Lui itu penjaganya Ilyasa.

Ilyasa menggaruk rambutnya. "Pokoknya kamu jangan cerita sama Lui soal dia, ya?"

Apa secara tidak langsung Ilyasa bilang kalau Lui tidak dapat diandalkan? Atau Lui memiliki kuasa yang tidak sebesar pria itu? Aku tidak tahu, yang pasti permintaan Ilyasa kuturuti.

Lui berpakaian sama seperti terakhir kali aku bertemu. Ia mengenakan jas seperti siap-siap bekerja. Dandanannya kelewat rapi. Lui menyambut ramah kedatangan kami. Ia repot-repot menata kursi untuk kami berdua. "Jadi gimana?"

"'Gimana?' katamu?" Ilyasa memicingkan mata. "Mana katamu mau diskusi soal fenomena aneh Zara?"

"Tenang dulu, Ilyasa. Datang-datang langsung marah kayaknya kurang sopan."

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang