10. Bagaimana Nasibku?

106 25 3
                                    

SEBENARNYA AKU ingin sekali mengobrol dengan Anka, tapi canggung. Kami baru kenalan, jadi aku tidak tahu mau membahas apa dengannya. Ia juga terlihat sibuk dengan buku kas. Telunjuk Anka menunjuk dus-dus berisi makanan.

Dipikir-pikir Anka lucu. Bisa-bisanya ia bekerja, padahal statusnya sudah meninggal. Memang ada ya manusia yang suka bekerja? Bukannya kebanyakan orang lebih suka gaji daripada gawe-nya?

Tanpa sadar aku mendengus menahan tawa. Anka menoleh padaku. "Kalau mau makan, ambil aja, Zar. Sorry ya, aku lagi sibuk." Ia kembali bergulat dengan buku itu. Dahi Anka mengerut cukup dalam. Kedua mata cowok itu tidak berkedip.

Kuputuskan mengisi waktu dengan jalan-jalan saja. Beberapa waktu lalu aku terlalu fokus ingin pulang. Tempat-tempat semacam ini jadi tidak terlalu menarik diamati. Waktu itu kuanggap ini mimpi.

"Ternyata 'mimpi' bisa senyata ini." Pulahan toko berjajar di kanan-kiri jalan. Setiap toko menjual barang yang berbeda. Toko Anka bekerja lebih bisa disebut minimarket. Toko Lui yang agak jauh dari tempat Anka menjual barang pecah belah.

Setiap toko yang kulewati pasti memiliki wujud berbeda. Mereka memiliki ciri khas masing-masing. Beberapa orang berlalu-lalang di sepanjang jalanan aspal, sedangkan sebagian berada di dalam toko. Mereka sibuk dengan kegiatan.

Amat sulit dipercaya kalau ini dunia lain. Mereka seperti orang biasa. Kegiatan yang dilakukan juga normal seperti manusia pada umumnya. Kalau teman-temanku datang kemari, mereka pikir ini jalanan kota biasa.

Biasanya jalanan seperti ini ramai pengunjung, tapi di sini tidak demikian. Jangan bayangkan orang-orang berdesakan merebut rute jalan. Tidak banyak manusia yang berada di sini.

Ilyasa bilang Cuma orang-orang tertentu yang masuk ke sini. Jika benar begitu, kematian anomali apa yang mereka alami? Mereka tidak ingat riwayat hidupnya, namun wajb mencari kepingin ingatan agar layak diangkat.

"Diangkat, ya?" Saat kudongakkan kepala ke atas, aku tidak melihat langit biru seperti di padang rumput. Kabut menutup pemandangan ruko-ruko di sini. Saking tebalnya embun, kau bisa melihat titik-titik air membasahi setiap sisi benda.

Tidak ada matahari yang tampak, jadi suasana agak muram. Lebih-lebih jumlah orang di sini sedikit, jadi terasa singup. Waktu seperti berhenti di jam enam pagi. Tidak ada yang berubah dari latar tempat ini.

Apalagi berjalan di perumahan, hawa lebih hening. Tidak ada pergerakan hewan. Kicauan burung tak terdengar, bau tahi kucing di gundukan tanah sirna begitu saja, dan siluet anjing yang tak berbekas.

Seluruh jendela dan pintu tertutup rapat. Air di dalam kolam tak beriak. Tidak ada ikan-ikan yang berputar. Hanya ada teratai yang tak bergerak karena saking tenang airnya.

Di antara keheningan itu, wangi kapur barus merajai seisi perumahan. Setiap jengkal langkah yang kulalui, samar-samar bau kapur barus menyapa hidung. Bau ini silih berganti melintas di depan hidung. Kapur barus selalu mengingatkanku dengan Ilyasa.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan Ilyasa di sepanjang jalanan perumahan. Ia sedang apa? Kapan pulang? Bagaimana perjalanannya? Banyak sekali pertanyaan yang terlintas di kepala. Apa setelah semuanya usai, ia akan langsung diangkat ke atas?

Memikirkan Ilyasa yang berhasil menyelesaikan hukuman, membuatku agak sedih. Berarti pertemuan kami hanya sebatas dunia ini. Anak cowok itu dibawa pergi, lalu kami tidak akan bertemu lagi.

Kalau memang perpisahan itu terjadi, setidaknya kami pernah menghabiskan waktu bersama. Aku ingat betul pertemuan kami terjadi di sini, di deket batu besar. Ia duduk di atas batu, lalu menoleh saat kusapa.

Kuhantamkan kepalaku ke batu besar ini berulang kali. "Sialan, aku belum punya klu pulang ke rumah, tapi malah khawatir ke orang lain." Kepalaku sakit sekali. Sakitnya bukan karena hantaman, melainkan sakit memikirkan kemungkinan aku tidak bisa pulang.

Jika hidup-matiku satu banding satu, dan ternyata aku dinyatakan mati, apa aku akan terjebak di sini? Aku belum sempat memeluk Mama-Papa. Teman-temanku juga ingin mendengar cerita dariku. "Aku belum siap mati."

Air mata mengalir begitu saja. Aku tidak berusaha menghapusnya. Di sini aku melampiaskan semuanya. Tidak ka nada yang mendengar rintihan tangisku, jadi aku tak perlu menahan. Setelah menangis, aku tidak ingin terlihat sedih di depan orang-orang—terutama Ilyasa. Ia pasti juga menderita.

Naphthalene

Tanpa sadar aku tertidur di rerumputan. Kelopak mataku agak lengket karena belek mata. Saat berhasil membuka mata sekalipun rasanya tidak nyaman. Ini pasti karena bengkak. Kuusap brutal wajahku dengan saputangan pemberian Ilyasa.

Angin begitu ramah membelai wajah. Gemerisik rerumputan teki yang bergesekan menjadi lantunan penenang. Lengan dan kakiku dielus ujung rerumputan.

Berbeda dengan langit di perumahan dan ruko-ruko, langit di padang rumput begitu bersih. Tidak ada setitik awan di atas langit. Padang rumput yang menari-nari begitu memanjakan mata. "Padang bunga yang dilihat Ilyasa kira-kira sebagus apa, ya?"

"Gak lebih bagus dari punyaku," celutuk seseorang yang entah datang dari mana. Ia tahu-tahu ada di sampingku.

Aku langsung terbangun mengetahui kalau ia adalah Entitas Batin Hitam. Ia mengenakan setelan yang serupa seperti terakhir kami bertemu. Entitas itu tersenyum ramah. Ia memberiku wink dan hormat ala-ala.

Pria itu mengulurkan tangannya padaku. "Kamu mau lihat taman buatanku?"

Naphthalene
779 kata

Alamaaakk sudah waktunya tamasya ke tamannya Daddy Entitas Batin Hitam :3

Share chapter yang dikit dulu ya wkwkw :"v

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang