ANKA YANG RAMAH berubah menjadi murka. Ia menunjukkan ekspresi yang berbeda 180 derajat. Mata Anka melotot lebar, gigi bergemeretak, telunjuknya menuding tajam ke wajah Ilyasa.
Ilyasa tak berkutik. Mata cowok itu menatap kedua tangan yang ia satukan sendiri. Pikirannya melalangbuana, ia terlihat tak sengaja mengabaikan Anka. Mungkin seburuk itu meminta bantuan 'si Entitas Batin Hitam'.
Saat Anka tak diperhatikan, ia mencengkeram bahu Ilyasa. "Goblok! Emangnya enggak ada cara lain?!"
"Lui juga gak bakal bantu!" Ilyasa balik menantang. "Kita tahu 'kan sesulit apa kembali ke masa yang diinginkan? Memangnya Lui punya kuasa sebesar dia?"
"Tapi kenapa harus si Hitam?"
"Udah gak ada jalan lain, Anka!"
"Apa gantinya buat si Hitam?"
"Dia gak minta apa-apa." Ilyasa menatap mantap ke kedua mata Anka. "Aku aman."
Aku tidak memahami maksud mereka. Tapi dari dari ekspresi mereka berdua, sepertinya seseorang yang disebut Entitas Batin Hitam ini tidak cukup baik? Entah kenapa aku jadi ikut-ikutan khawatir. "Anu, siapa ya si Entitas ini?"
"Jangan tanya 'siapa', melainkan 'apa'," jawab Anka. "Dia bukan seseorang, tapi semacam entitas. Bukan makhluk, tapi punya kesadaran."
"Em bukannya dia cowok kayak kalian, ya?"
"Zara, dia semacam entitas yang mewujud menyerupai orang-orang di dekat kita." Ilyasa menenangkan Anka yang marah, lalu melanjutkan. "Kalau menurutmu dia cowok, tapi di mataku dia wanita."
"Hah gimana?" Sulit membayangkan dia berbeda wujud di saat bersamaan. Jadi pertama kali aku bertemu dengan si Entitas ini, Ilyasa justru melihatnya sebagai wanita?
"Konsepnya sama seperti dunia nol," sahut Anka. Ia jadi lebih tenang. "Pemandangan yang kita lihat bergantung dari visi diri sendiri."
"Katamu entitas ini menyerupai orang di sekitarku. Kayaknya aku enggak pernah ingat kenal dengan orang yang rupanya kayak si Entitas ini." Rupa si Entitas sangat baru di mataku. Saking barunya, aku sampai mengira kalau ia bakal populer kalau tinggal di daerahku.
Kukira Ilyasa menyangkal, tapi ia juga tidak familiar dengan wajah Entitas. Ilyasa tidak ingat pernah kenal dengan seseorang yang wajahnya seperti si Entitas. Wajah wanita yang terpasang di diri Entitas Batin Hitam terlalu asing.
Anka menyangkal. Khusus kasus Ilyasa itu wajar. Ia jiwa tersesat, jadi butuh waktu baginya untuk mengingat. Tapi kasus pada diriku ini kurang wajar. Si Entitas Batin Hitam ini meng-copy orang di dekatku. "Masa kamu gak sadar?" kata Anka ngotot.
Aku keukeh menggeleng. Tidak ada orang di dekatku yang wajahnya seperti si Entitas Batin Hitam. Aneh kata Anka. Ia baru tahu ada kasus itu. Aku menanyainya balik, apa dia pernah bertemu Batin Hitam? Belum, katanya. Ia tidak berminat menemui.
Anka bilang Entitas Batin Hitam itu berbahaya. Ia sebenarnya sama seperti penjaga jiwa: sama-sama punya kesadaran. Tapi Entitas Hitam unik karena ia bisa mewujud sebagai kenalannya lawan bicara.
"Jujur saja, Entitas Batin Hitam itu punya kuasa gak ngotak." Anka mengacak-acak rambutnya sendiri. "Ia entitas yang berasal dari batin terdalam manusia, lebih tepatnya sisi terburuk manusia—makanya dinamakan Entitas Batin Hitam."
Ilyasa menambahkan, "Karena berkaitan dengan batin, dia mengerti isi hati manusia. Kami sering diperingatkan jangan mendekati Batin Hitam, nanti isi hatimu bakal dipermainkan olehnya."
Anka menjitak keras jidat Ilyasa sampai berbunyi nyaring sekali. "Dan si Tolol ini bisa-bisanya enggak pikir panjang minta tolong ke Entitas Hitam! Kalau keseringan dekat sama Batin Hitam, bukan gak mungkin jiwanya bakal dihisap Entitas Hitam!"
Anka menjelaskan kalau sampai ada Jiwa Tersesat yang dihisap nyawanya, tamat sudah. Jika Ilyasa sampai terhisap, nama 'Ilyasa' dan segala riwayat hidupnya akan menghilang. Sementara itu Entitas Hitam akan menjadi lebih kuat.
"Tapi fungsinya buat apa ya si Entitas Hitam itu?" Dunia ini aneh sekali. Jiwa Tersesat kesulitan mencari kepingan ingatan, tapi semakin dipersulit dengan keberadaan Entitas Batin Hitam.
"Menggoda manusia, lah." Anka menunjuk langit-langit, suaranya memberat. "Bahkan rumornya si Hitam ingin melampaui Yang Di Atas."
Aku sontak memeluk diriku sendiri. Jadi Ilyasa selama ini meminta bantuan ke sesuatu seperti itu? Dia melakukan ini untukku? Aku menatap Ilyasa lamat-lamat. Ia memalingkan mata. Kami baru kenal beberapa waktu lalu, tapi ia melakukan usaha sebesar itu.
"Pokoknya enggak usah ditanggapi kalau ketemu dia lagi," lirih Ilyasa.
Anka menggeplak kepala Ilyasa. Ia melakukan penganiayaan pada cowok itu. Anka seperti lepas dari kandang. Padahal mukanya seperti orang baik-baik, ternyata ia cukup brutal. Tidak ada kata nasihat di antara Anka dan Ilyasa. Baku hantam adalah solusinya.
Naphthalene
Ilyasa mengelus kuping yang memerah. Ia tidak berkutik dihukum Anka. Mau bagaimana lagi? Apa yang dilakukan Ilyasa itu fatal. Dengan kata lain Entitas Batin Hitam itu jahat. Tapi jujur penampilan dan perangainya sangat ... menarik.
Aku sontak menutup mulutku. Hampir aku memuji si Entitas Hitam. Teman-teman cewekku pasti suka dengan tampilan wajah Entitas Hitam. Ganteng banget, gila! Tapi aku tidak mungkin mengatakan ini pada Ilyasa, jadi biarlah kupendam sendiri.
Anka sudah lebih dulu berada di teras depan. Ia masih ngambek, tapi Ilyasa membiarkan. "Nanti juga kalem sendiri," katanya.
Pose Ilyasa mengingatkanku dengan kucing yang hobi malas-malasan di kursi. Posisi tidur kucing juga biasanya aneh-aneh. Badan mereka seperti slime. Kurang lebih Ilyasa juga begitu.
Aku tertawa kecil. Diingat-ingat semasa terjebak di masa lalu Ilyasa versi SD, anak itu tidak tampak semalas ini. Malahan terlihat sangat giat. "Ilyasa aku mau cerita tentang yang kulihat, deh! Kamu suka bantu orangtua, ya, di kebun? Bisa keren gitu bawa bobot berat. Jadi aku sempat beli pepaya di kebunmu, terus—"
"Kamu mau cerita apa, Zara?"
"Iya ini aku cerita, jangan dipotong, dong! Jadi pas di kebun itu aku kesulitan buat nyebrang selokan—kok wajahmu gitu, sih?!"
"Aku justru dari tadi nunggu kamu cerita, tapi malah marah-marah," jawab Ilyasa tidak mau kalah.
Aku sontak tersadar. Tidak mungkin Ilyasa bercanda. Wajahnya juga serius menyimak. "Kamu gak dengar apa pun dari ceritaku?"
"Oh kutebak kamu cerita tentang pengalaman hidupku. Sayang sekali hal yang bersifat spoiler selalu gak bisa kudengar." Ilyasa menjelaskan kalau jiwa-jiwa tersesat tidak akan mendapatkan bocoran riwayat hidup dari siapa pun sebelum dia yang mengetahuinya sendiri.
Tanggapan Ilyasa membuatku sontak berkata apa-apaan?! Pantas saja orang-orang di sini sulit diangkat. Dunia nol saja didesain agar orang-orang di sini kesulitan untuk keluar.
Ilyasa meregangkan badan. Ia kemudian beranjak dari duduk. Anak cowok itu menepuk sisa debu di pantat.
"Mau ke mana?" Sontak aku ikut berdiri, tapi Ilyasa menahanku.
"Mau kembali ke masa lalu. Kamu di sini aja bareng Anka, Zara." Ilyasa meninggalkanku.
"Tapi—"
"Kenapa?" Ilyasa membalikkan badan. Ia menyeringai kecil. "Mau ikut?"
Aku buru-buru menggeleng. "Tapi kamu nanti balik, 'kan, Ilyasa?!"
Kerlingan matanya seperti menggodaku. "Kangen?"
"Enggak! Aku 'kan cuma tanya." Kudorong punggung Ilyasa agar segera menjauh. Aku tidak mau menatap wajahnya. "Udah pergi aja sana!"
Ilyasa tertawa renyah. Ia mengelus pelan puncak kepalaku, lalu pergi. Aku memperhatikan siluetnya yang menjauh ditelan hijaunya ilalang. Ilyasa menghilang dari pandanganku. Mungkin ia berlari bersama ayam-ayam gaib.
"Anak itu rajin sekali bolak-balik ke masa lalu," tutur Anka membawa dua gelas teh. "Zara kamu kepanasankah? Mukamu merah begitu."
Naphthalene
1103 kataRabu, 14 Agustus 2024
AyamLincah