3. Riwayat Hidup

179 43 20
                                    

Coba bayangkan, kamu diajak ngobrol dengan orang aneh. Dia tiba-tiba bilang kalau kamu sudah mati. Apa kamu percaya seratus persen? Kalau aku cuma ketawa aneh. Lui yakin sekali berkata aku sudah mati. Aku lebih percaya sedang mimpi, sih, tapi mati? Siapa yang mau percaya pada om-om tebar pesona?!

Seolah-olah tahu dengan isi pikiranku, Lui melanjutkan perkataannya, "Dilihat dari ekpresimu, sepertinya enggak terima, ya. Udah biasa lihat kayak gini. Pokoknya ya, semua yang hidup di dunia nol ini dipastikan sudah mati." Lui mencondongkan badannya. Tatapan Lui lebih intens. "Dan cara matinya aneh."

Aku mengernyit heran. Spontan kugelengkan pelan kepalaku. Dia lagi sakau, 'kan? Suaraku meninggi. "Gimana bisa mati kalau aku bahkan enggak tahu caraku mati?!"

"Makanya kamu cari tahu riwayat hidupmu biar tahu matimu kenapa." Lui beranjak dari kursi, ia mengambil minuman untukku dan dirinya sendiri. Ia menganggap obrolan kami enteng seperti membahas harga telur.

Aku sontak menatap Ilyasa. Wajahku menggeleng heran. Aku menuntut penjelasan dari Ilyasa daripada si Tebar Pesona. Namun Ilyasa seperti terlalu malas untuk menjelaskan. Ia malah sengaja meneguk minuman lebih banyak. Aku menyenggol bahu Ilyasa. Ia tersedak. Pokoknya anak cowok itu harus ngomong sesuatu!

"Kalau aku yang ngomong, kamu gak bakal percaya, Zara," Ilyasa mengelap bibirnya. "Makanya kusuruh Lui buat bantu kamu. Dia lebih paham soal ini."

"Gini aja Dek Zara, kalau kamu yakin belum meninggal, coba sebutkan riwayat hidupmu sedetail-detailnya," tantang Lui.

Aku menggebu-gebu mengungkapkan riwayat hidupku. Benar-benar semua riwayat hidupku dari lahir sampai detik ini. Aku menyebutkan nama orang tuaku dan tanggal lahir mereka. Aku mengingat tempat tinggalku beserta nama-nama tetangga. Aku tahu betul kapan masuk sekolah sampai lulus. Aku menyebutkan nama panjang teman-temanku beserta aib mereka. Aku bahkan ingat hutang-hutang mereka!

Seiring berjalannya cerita hidupku, mulut mereka menganga lebar. Ilyasa melongo tanpa mengedipkan mata. Lui bahkan tidak sadar mulutnya selebar papan karambol. Aku menantang mereka berdua menanyakan detail riwayat hidupku.

"Kok kamu ingat riwayat hidupmu?" tanya Lui. Ia menatapku begitu dalam. Tersirat kekagetan begitu besar di wajahnya. Kedua alisnya naik tinggi. Lebay sekali wajahnya. Apalagi Ilyasa ... ia melihatku dari atas ke bawah berulang kali. Ia seperti baru saja melihat setan.

"Manusia mana yang lupa sama riwayat hidupnya sendiri?!" Aku tidak menyangka hal ini membuat mereka berdua tercengang hebat.

"Enggak mungkin!" Ilyasa histeris. Saking histerisnya ia sampai beranjak dari duduknya. Padahal dari tadi ia yang paling santai, sekarang malah heboh. "Aku bahkan enggak ingat sebanyak itu soal riwayat hidupku!"

"Apa iya? Aneh ih!" jawabku. "Pokok kasih tahu aku dah gimana caranya bangun dari mimpi!" Aku mendesak Lui agar segera bicara.

"Enggak bisa. Ini bukan mimpi," ujar Lui. Mulutnya tidak semenganga tadi, tapi ada keraguan di wajahnya.

"Kalau gitu ini apa, dong?"

"Dunia nol." Ilyasa menatapku serius. "Dunia buat orang yang matinya aneh-aneh. Kami yang hidup di sini mencari riwayat hidup dengan kembali ke masa lalu. Jika kepingan ingatannya sudah utuh, kami diangkat ke atas."

"Orang-orang yang masuk dunia nol dijuluki para Jiwa Tersesat." Lui menarik kursinya agar duduk berdampingan denganku. Lui dan Ilyasa mengapitku. Mereka berdua tampak serius. Jujur aku agak risih diapit dua laki-laki. "Awalnya mereka kebingungan sama seperti dirimu, Zara, tapi aku dan penjaga jiwa lainya menuntun para jiwa tersesat."

Karangan macam apa itu? "Tapi aku belum mati. Aku ingat riwayat hidupku!"

"Iya kamu ingat riwayat hidupmu, tapi ...." Ilyasa menatap Lui. "Dia yang paham."

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang