14. Dikirim oleh Lui

89 22 0
                                    

AKU MELIHAT ILYASA berdiri di tengah-tengah padang. Punggungnya yang kecil itu dilalap lautan rerumputan teki. Ia sempat melihat ke belakang, lalu tersenyum kecil pada kami bertiga. Anak cowok itu kemudian berlari menyibak hijaunya rumput, lalu menghilang tak berbekas.

Anka yang berada di sampingku mengeluh. Bisa-bisanya ia mendapat visi padang pasir yang panas. Wajahnya merengut dan mengeriput dicolok silaunya matahari. Kali ini ia mengenakan payung hitam. Katanya itu cukup melindungi Anka dari ganasnya paparan matahari, tapi kalau bisa ia ingin segera kembali ke toko saja.

Lui menyenggol bahu Anka. Apa ia tidak ingin mencicil pencarian kepingan ingatan? Anka menjawab, "malas." Simple sekali mulutnya berbicara. Anka tahu-tahu berjalan mendahului kami. Ia tak tahan dijemur matahari. Lui geleng-geleng kepala. Ia pusing menghadapi jiwa-jiwa tersesat.

"Nanti kalau kamu hilang ingatan total gimana, dong?" tanyaku sesampainya kami di toko.

"Tenang aja." Anka menenggak teh dingin. "Nanti juga kucicil."

"Jangan nanti-nanti, Ka, yang lain udah diangkat, nanti kamu sendirian di sini," celetuk Lui.

Tak disangka perkataan Lui mampu menghentikan gerakan Anka. Pria itu terdiam sejenak, matanya mendadak kosong. Saat kutepuk pundaknya, Anka kembali sadar. "Aku lupa kapan pertama kali datang ke dunia ini."

Lagi-lagi Lui menggeleng kepala. Ia menyentuh keningnya. Pria berjas rapi itu mengeluh. Tidak ada dari jiwa tersesat yang penurut. Semuanya susah diatur. Lui berkata kalau dapat memilih tugas, ia ingin jadi batu.

Melihat sosok Lui yang seperti manusia normal membuatku bertanya-tanya: apa benar semua penjaga jiwa itu sekadar entitas? Sulit menganggap Lui sebagai seonggok entitas. Nyatanya ia bertindak seperti manusia pada umumnya.

Aku jadi ikut-ikutan pusing memikirkan dunia ini. Alih-alih mengobrol, kami bertiga malah pusing sendiri-sendiri. Kemudian Anka memecah situasi hening ini. "Kenapa masih di sini?" tanya Anka pada Lui. Ia menilik Lui dari atas sampai bawah. "Biasanya 'kan 'sibuk'."

Lui balas memicingkan mata. "Aku mau mengamati Zara. Tolong wajahnya dikondisikan."

"Kukira kerjamu cuma duduk-duduk aja."

"Mana ada! 'Kan udah kubilang, aku pusing ngurus jiwa-jiwa macam kalian."

"Kalau mau berantem di luar aja, ya," kataku ketus. "Aku pusing lihat kalian marah-marah."

Anka angkat tangan. Ia beranjak dari tempat duduknya. Cowok itu melakukan rutinitasnya sebagai penjaga toko. Ia mengabaikan kami sepenuhnya.

Sementara itu Lui kembali membahas tujuan awal. "Zara, aku butuh bantuanmu. Aku dapat tugas mengawasimu."

Salah satu alisku terangkat. "Apa aku berbahaya?"

Lui tersenyum kecil. "Iya kalau berubah jadi siluman macan." Tiba-tiba wajahnya berubah menjadi serius. "Bukan. Bagi para penjaga jiwa kamu itu kasus khusus. Kemungkinan besar kamu koma atau terjebak di dunia ini, tapi asumsi aja gak cukup. Aku minta tolong ke kamu buat berkunjung ke masa lalu, kita susul Ilyasa. Aku ingin mengamatimu."

Sontak aku membayangkan kereta gaib yang tiba-tiba menghantamku. Aku menggeleng kuat. "Enggak ada cara lain?!"

"Kamu lihat apa memangnya?"

Saat aku menjelaskan apa yang terjadi pada Lui, ia mengangguk paham. Pria itu memberikan reaksi yang sulit kudeskripsikan. Ia seperti sedang berusaha biasa saja, namun matanya tersirat rasa iba. "Apa itu artinya?"

"Artinya kamu kalau mau menyeberang harus lihat kanan-kiri."

"Tapi keretanya datang gitu aja! Mana sempat aku dan Ilyasa menghindar."

"Ah gitu, ya ...." Kata-kata Lui mengambang. Ia tidak segera melanjutkan perkataannya. Beberapa menit yang—terasa—panjang, Lui menyambung omongan. "Sebenarnya rasa sakit yang kamu rasakan saat tertabrak kereta cuma ilusi, tapi aku paham maksudmu. Pasti rasanya terlalu nyata, ya, makanya jadi trauma." Lui meraih dan membalut tanganku dengan tangan besarnya. "Tak apa-apa. Sesakit-sakitnya jiwa tersesat mencari jati diri, ia pasti akan dibawa pulang oleh Tuhan."

"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?"

"Ya karena tugasku menjaga jiwa-jiwa di sini, termasuk kamu yang anomali ini." Lui melepas genggamannya. Ia kembali ke settingan pabrik. "Lagi pula nanti kamu gak lewat kereta gaib itu."

"Terus lewat apa?"

"Lewat jalanku—" Lui bangkit dari kursi "—Ka! Mau ikut?"

"Enggak!" teriak Anka. Ia berada di sudut belakang toko mengurus barang-barang. "Udah sana jangan ganggu aku!"

"Yaudah kami pergi dulu!"

Tanpa persetujuanku, Lui tiba-tiba menggaetku keluar dari toko. Aku sudah bulat mengatakan tidak, tapi katanya Ilyasa bakalan lama mencari kepingan ingatan di masa lalu "Kalau kamu kangen, aku yang repot," celetuk Lui.

Sontak aku memukul lengan Lui berkali-kali. "Mana mungkin aku kangen sama cowok itu?!"

"Mukamu merah."

"Enggak, kok." Kututup wajahku. "Lagian aku gak mau ditabrak kereta lagi."

"Kalau ada aku bakalan aman 100%," ujar Lui. "'Kan udah kubilang, kamu cuma figuran di masa lalu orang lain. Gak bakalan ngaruh apa-apa, dan yang pasti kamu bakalan aman. Duh! Gak usah takut gitu!"

Lui meraih ranting dan membuat lingkaran besar di tanah untuk kami berdua. Rasa-rasanya seperti menjadi tumbal ritual aliran sesat (kalau mau tinggal bentuk bintang di tengah). "Jadi gini ya caranya kembali ke masa lalu versimu," kataku.

"Enggak juga. Tanpa lingkaran bisa, kok."

"Terus kenapa bikin—?"

Lui menggenggam tanganku. Ia menjentikkan jari. Tanah yang kupijak ambles. Dalam sedetik dunia sekitarku berubah menjadi hitam pekat. Aku bahkan tak sempat berteriak.

"Good luck, Zara!"

Naphthalene

Dalam sekejap aku sudah berada di kelas.

Semua mata tertuju padaku. Orang-orang ketakutan melihatku.

Ah sialan, Lui ....

Naphthalene
807 kata







Gak sampe 1000 kata dulu ya wkwk

Tenang, makin ke penghujung biasanya makin panjang chapternya





Rabu, 18 September 2024

AyamLincah

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang