1. Semuanya Pergi Ke mana?

176 43 16
                                    

AKU PAHAM memulai cerita dari bangun tidur itu klise banget, tapi ayolah! Kejadian anehnya dimulai pas bangun pagi. Jadi begini cerita lengkapnya:

Mama dan Papa berangkat kerja duluan. Nasi goreng tersimpan di lemari. Kata mereka jangan lupa sarapan banyak, agar aku cepat dewasa. Saat aku sepenuhnya sadar dari tidur, makanannya tidak ada. Kulihat-lihat kompor masih bersih tanpa bekas minyak, tidak terdeteksi wajan bekas pakai, dan yang terpenting keadaan dapur terlihat tak tersentuh.

Oh mungkin gak sempat masak, pasti tadi cuma halusinasi. Awalnya kupikir begitu. Aku mandi seperti biasa, setelah itu niatnya mau masak. Saat membuka kulkas ... kok kosong? Tidak ada bahan makanan, bumbu masakan, apalagi noda. Kulkasnya sudah tua, tapi tidak ada isinya.

Oh mungkin baru aja dibersihkan. Akhirnya aku beli nasi uduk langganan. Tempatnya cuma melewati dua gang. Kulihat sisi kanan kiri jalan kok damai, ya? Maksudku biasanya pagi-pagi begini motor-motor adu geber, tetangga teriak-teriak, apalagi anak SD rusuh mau pergi ke sekolah. Rumah tetangga tutup semua, padahal sudah pagi. Memang masih ada kabut sih, tapi ini sudah jam berapa coba?

Oh mungkin aku bangun kepagian. Setibanya di tempat nasi uduk langganan, warungnya malah tertutup. Aku mengetuk pintu rumahnya, tapi tidak ada panggilan. Ngomong-ngomong rumahnya sepi banget, ya?

"Beli nasduk Bu Tri!" Aku menempelkan wajahku ke jendela. "Halo?" Dari balik tirai yang tersingkap, tidak ada siapapun di rumah. Aku mencoba mengecek bagian samping rumah Buk Tri. Aku mengintip dengan cara yang sama.

Kosong. Tidak ada siapapun. Eh tapi ada sesuatu dari balik lemari besar. Semakin kusipitkan mata, semakin kutahu itu siluet manusia. Tapi kok agak tembus pandang, ya?

Perasaanku agak tidak enak. Aku kabur dari rumah Buk Tri. Kakiku melintasi gang demi gang sambil sesekali menengok ke belakang. Baru kusadari kalau para warga tidak kunjung memulai kegiatannya. Kenapa sepi sekali di sini?!

Aku mencoba mengetuk rumah-rumah tetangga, tapi tidak ada balasan. Jujur aku pernah membayangkan skenario hidup sendirian di bumi, tapi please ini enggak seru. Aku baru saja lihat penampakan di rumah Buk Tri, apalagi nanti malam gang-gang bakal seramai apa coba?

Betapa jelek mukaku saat air mata dan ingus bercampur jadi satu. Tanpa lihat cermin, aku bisa membayangkan kedua mataku yang membengkak. Bibirku jadi lebih tebal dan jontor seperti baru saja disengat lebah. Rambut sering kutarik-tarik semata-mata untuk menenangkan diri.

Suer aku sudah keliling dari gang satu ke gang lainnya, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia. Jangankan manusia, nyamuk aja tidak ada. Karena saking paniknya, aku sampai tidak sadar ada kejanggalan yang lebih ngawur daripada hilangnya manusia: ada padang rumput.

Seharusnya di belakang rumahku ada rumah tetangga, tapi taman belakangku malah langsung berhadapan dengan tanah lapang. Lapangan stadion saja kalah luas.  Kalau dideskripsikan, sejauh mata memandang hanya ada hamparan rerumputan teki. Sepasang mataku penuh dengan pemandangan hijau daun dan biru langit.

Aku benar-benar sadar ini bukan tempat tinggalku. Seharusnya aku menangis lebih histeris lagi, tapi justru senggukan di dada mulai mereda. Ada sesuatu yang membuatku lebih tenang. Apa itu pengaruh psikologi warna? Katanya tempat makan sengaja diwarnai oranye-kuning agar orang lahap makan. Lalu warna biru langit dan hijau taplak meja yang kulihat tandamya apa?

Gelombang angin antah berantah menyisiri rerumputan teki, lalu menghantam badan. Aku menyilangkan tangan di wajah agar debunya tidak masuk mata. Kuatnya angin memasuki lubang telingaku. Rambutku disisir kasar oleh terpaan angin kencang.

Mataku terbuka pelan seiring redanya tiupan angin. Kelopak mata ini membeliak lebar saat melihat ada siluet seseorang duduk di atas batu besar. Siluetnya seperti duduk membelakangiku. Kutahu ia orang asing, tapi hanya ada dia di sini. Jadi aku tergesa-gesa menghampirinya seperti seorang penggemar yang mengejar idolanya. Kuibaratkan begitu karena aku betulan berteriak memanggilnya berkali-kali. Tapi ia budek, masa berkali-kali dipanggil malah kacang begitu?

"Oi dek! Kalo dipanggil tuh dijawab, ya!"

Ia menoleh. Ternyata ia anak cowok. Ia seperti anak baru puber. Anak rambutnya melambai pelan dibelai angin. Sorot mata itu memicing tajam padaku. Tersirat rasa tidak suka dari tatapannya, namun ia berusaha menutup kedok dengan senyuman hangat. "Kayaknya kita seumuran deh."

Alisku spontan terangkat tinggi. Tahu-tahu mulutku spontan ngomong, "Jeleknya ...." Aku menampar mulutku kuat-kuat. Bibirku makin jontor. "Eh anu ... nda abaikan itu."

Cowok itu turun dari tempat duduknya. Ia berhadapan denganku. Ternyata tinggi kami beda sejengkal saja.

Baru saja aku ingin berbincang, lagi-lagi angin datang seperti ingin menyapu kami. Kali ini arah angin berasal dari belakang punggung cowok ini. Aku melindungi wajah dengan lenganku.

Ketika anginnya mereda, hidungku samar-samar mencium bau kapur barus. Aromanya seperti bersumber dari cowok ini. Wanginya mengingatkanku dengan baju yang disimpan lama di lemari tua penuh kapur barus.

"Ilyasa," ujarnya. Ia mengulurkan tangannya. "Kamu?"

Aku menerima uluran tangannya. "Zara."

Ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. "Kayaknya kamu udah tahu identitas dirimu sendiri, ya. Bisa lah sedikit lagi diangkat ke atas."

Sumpah aku enggak paham dia ngomong apa.

Naphthalene
798 kata











Plonga-plongo gak tuh si mc :"v





















Btw buat pengingat, latar tempat dunia nol itu cerminan si jiwa tersesat. Keknya ini cerita emang ga bisa dibaca terpisah deh, minimal baca The Crying Whales biar ga mumet2 amat.

Naphthalene: A Long NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang