•| Chapter 12 |•

16 2 0
                                    

Bugh!

"AAA!!!" Semua anak cewek menjerit saat melihat Opik menonjok rahang Haidar dengan kerasnya sampai cowok itu terjatuh karena mendapat seragan mendadak.

Haidar melayangkan tatapan tajam ke arah Opik sambil menyeka darah di ujung bibirnya dengan ibu jari. "MAKSUD LO APA, ANJING?!"

"LO NGGAK BERGUNA, BANGSAT!" balas Opik tak kalah emosinya, sejak tadi dia menahan untuk tidak meledak saat di lapangan melihat cara bermain Haidar. Dan saat ini dia sudah tidak bisa menahannya lagi ketika melihat cowok itu dengan tampang tidak berdosanya malah becanda dengan Danny. "DARI AWAL MAIN LO NGGAK BISA SERIUS! KALO LO NGGAK BISA MAIN, NGGAK USAH IKUT! MODAL BACOT DOANG MASUKIN NAMA GUE. TAPI, LO SENDIRI NGGAK BISA MAEN!"

Haidar beranjak berdiri, tersulut emosi. "NGOMONG SEKALI LAGI LO, ANJING! KAYAK LO BISA AJA!"

"KALO GUE BISA NGAPA?! NYATANYA GUE LEBIH BISA DIBANDING LO!"

Damar segera berlari mendekat, menjauhkan Opik dari Haidar dengan merentangkan kedua tangannya. "UDAH! Nggak usah ada yang berantem."

"Temen lo nggak guna! Dia sengaja bikin tim kelas kita kalah," balas Opik tajam.

Di antara cowok-cowok IPA 1, Opik yang paling kalem. Orangnya nggak neko-neko. Becanda seadanya. Kalau tertawa juga nggak terlalu keras kayak Haidar, Danny dan Chico. Dia tipikal cowok yang kalau lagi serius dan becanda selalu terlihat tampan.

Opik juga selalu bisa mengontrol emosinya. Biasanya dia yang jadi penengah kalau ada yang berantem di kelas. Namun, kali ini entah mengapa hanya karena pertandingan basket dia tidak bisa menahan kekesalannya.

Karena sejak bola dilambungkan, Haidar kurang gesit mengambil bola tersebut. Beberapa kali juga Haidar kecolongan, bola yang dibawanya ke daerah lawan selalu berhasil direbut. Saat Opik meminta operan bola dengan percaya dirinya Haidar menolak. Dia hendak melakukan three point, sayangnya tidak masuk.

Hal itu membuat Opik geram karena Haidar sangat sok bisa dan sok jago di lapangan. Padahal, jarang berkontribusi apa-apa untuk memasukan bola ke dalam ring lawan saat Opik dengan susahnya membawa ke daerah lawan.

"Gue nggak ngelakuin itu ya, Bangsat!" balas Haidar berapi-api menatap tajam Opik.

Naura berlari mendekat, menarik bahu Haidar untuk mundur. "Udah, Dar."

"Buktinya lo terlalu sok di lapangan!" balas Opik dengan tatapan tajam. Paling kalem di antara yang lain, tapi sekalinya marah terlihat sangat menyeramkan. Dia tidak pernah berantem dengan Haidar dan ini untuk pertama kalinya.

"Gue udah ngelakuin apa yang gue bisa!"

"Kalo lo nggak bisa nggak usah ikut main! Nyampah! Beban!"

"Opik!" tegur Damar dengan tatapan tajam.

"Terserah! Males gue." Setelahnya Opik berjalan keluar kelas dengan amarah yang masih membara.

Kini, yang tersisa di dalam kelas tinggal Damar, Naura, Riana, Hujan, Lesya, Haidar, Danny, Bani dan Chico. Mereka melihat kepergian Opik dengan tatapan sendu, kecuali Haidar karena masih emosi.

"Biarin dia sendiri dulu," ucap Bani.

Mereka bersembilan duduk di dalam kelas. Keheningan tercipta. Berperang dengan pikiran masing-masing. Memikirkan pertandingan yang kalah, kecewa dan sedih melihat Opik marah.

Namun, ini bukan akhir dari segalanya. Masih ada perlombaan yang lain. Menang kalah juga hal biasa walaupun dari lubuk yang terdalam mereka tidak terima dan ingin selalu menjadi nomer satu.

Lesya bisa merasakan aura ketegangan di antara mereka. Haidar masih keliatan marah. Damar sebagai ketua kelas idaman sedang mencari solusi. Dalam keadaan seperti ini, Lesya berpikir bagaimana peran Zios jika berada di situasi seperti ini.

Dangerous NerdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang