Seluruh tubuh terasa sakit. Seolah tulang, sendi, otot, seluruh bagian dalam diriku remuk. Aku tahu.... Ya, aku tahu bahwa selama hidup diriku termasuk manusia tidak baik. Jangankan berharap surga, neraka pun terlalu baik bagiku.
Akan tetapi, kejatuhan tidak sebegitu mengerikan dibanding fakta yang kuketahui sebelum meregang nyawa. Pengorbananku sia-sia. Tidak ada tempat bagiku kembali. Tidak pernah ada rumah bagiku berpulang. Kupikir mereka, orang-orang yang memiliki hubungan denganku, merupakan suaka bagiku. Tempat bernaung sekaligus berlindung dari badai. Satu-satunya hal yang bisa menguatkanku melawan dunia.
Bohong. Aku tengah menipu diri sendiri.
Sungguh dusta. Aku terlalu bodoh. Tidak ada kebaikan yang tersimpan di hati orang-orang itu. Mereka hanya ingin memanfaatkan diriku. Habis manis sepah dibuang. Aku tidak berguna, lalu tercampakkan.
Percuma.
Aku terlambat menyadari bahwa sebagai manusia pun diriku tidak cukup berharga bagi mereka. Diriku hanyalah salah satu dari sekian alat untuk mencapai tujuan. Tidak ada arti emosional selain sama tingginya dengan harga suatu barang yang dijual di pasar. Meskipun telah banyak hal yang kukorbankan demi mereka, kehadiranku tetap tidak berarti. Sedetik saja tidak ada diriku dalam daftar prioritas. Aku hanya menelan sebutir demi sebutir dusta yang disuapkan kepadaku. Menyedihkan, aku dengan sukarela menghancurkan diri sendiri.
Oh sakit sekali seluruh tubuhku.
Waktu tidak ada arti. Aku tidak tahu berapa banyak waktu yang kuhabiskan dalam....
Denyut menyakitkan menghantam dada, membuatku terbatuk. Sontak aku membuka mata, bersiap menyambut kegelapan.
... bahkan neraka.
“Ada di mana diriku?”
Tidak ada kegelapan. Mataku langsung mengamati langit-langit yang jelas tidak kukenal. Kupikir akan sulit bagiku bergerak, tapi tidak. Aku bisa bergerak.
Ternyata sedari tadi aku terbaring di ranjang. Bahkan pakaian yang melekat di tubuh pun berbeda dengan terakhir kali kukenakan.
“Sejak kapan rambutku sepanjang ini?”
Kugenggam rambutku yang terlalu panjang. Seumur hidup tidak pernah aku berani memanjangkan rambut. Lalu, kusadari ada yang aneh. Jemariku berbeda. Tidak ada bekas luka. Di salah satu jari manis melingkar sebuah cincin.
Kepalaku berdenyut. Sakit!
Aku mengerang, berusaha menjinakkan dentuman yang membuat kepalaku seolah akan pecah, terbelah. Aku jatuh, bersimpuh di lantai. Dinginnya lantai mengecup lutut, membuatku gemetar. Satu demi satu informasi berjejal, memaksaku memahami, dan aku nyaris muntah. Bulir keringat bermunculan di keningku. Sama sekali tidak membantuku makin tenang.
“Asmara Lembayung?”
Aku tahu nama ini. Dia merupakan salah satu putri orang ternama. Jenis manusia yang membuatku iri karena dia memiliki segala yang tidak bisa kuraih. Bila aku harus mengemis perhatian, maka ia, Asmara, hanya perlu diam saja. Kasih sayang tercurah deras bagai air terjun.
“Asmara....”
Terakhir kali informasi yang kuperoleh mengenai Asmara Lembayung ialah, dia telah menikah. Pemberitaan yang dimuat di berbagai media sosial. Televisi, Facebook, Instagram, X, bahkan semua platform berita secara meriah mengabarkan pernikahan Asmara.
Masih teringat jelas dalam benak. Aku menyaksikan Asmara dalam balutan gaun putih menawan. Dia terlihat seperti seekor angsa jelita. Tidak ada cela. Sempurna. Tidak mengherankan bila ia dipilih menjadi pemain utama dalam drama berjudul Danau Angsa. Iya, ia memang pantas memerankan putri yang dikutuk menjadi seekor angsa menawan.
Aku justru terlihat seperti seekor gagak tercela. Mengais makanan dari sampah, berusaha menemukan sisa makanan, dan hanya bisa berpasrah diri saat mendapati tidak ada satu pun hal yang bisa mengisi perut.
Jujur saja, aku selalu menginginkan kehidupan Asmara. Setidaknya ada banyak hal yang bisa kuraih tanpa satu kali pun merasa bersalah kepada orang lain.
Utamakan diri sendiri, baru yang lain.
“Oh gila!”
Sekarang penilaianku terhadap Asmara berubah.
Perjodohan. Memori Asmara memberiku penjelasan. Dia dipaksa menikah oleh orangtuanya yang menganggap pria bernama Cipta Lesmana, jodoh pilihan orangtua Asmara, merupakan orang tepat untuk menemani Asmara. Mereka tidak peduli dengan pendapat Asmara bahwa putrinya lebih menyukai lelaki lain.
Hari ini, saat aku menempati tubuh Asmara, merupakan hari ketujuh usai pernikahan.
Asmara memilih mengakhiri hidup, meminum sesuatu yang berbahaya, dan memberiku kesempatan melanjutkan hidup dalam raganya.
“Surat!”
Kucari surat yang terakhir kali Asmara tinggalkan. Benda itu tergeletak di nakas. Secarik kertas putih yang jelas dirobek dari suatu agenda. Kuraih benda itu, membaca isinya.
[Aku nggak bisa hidup bersama Cipta. Satu-satunya lelaki yang kuinginkan lebih memilih menolak hatiku. Sekarang aku tidak memiliki apa pun untuk membuatku bertahan di bumi.]
Oh gila. Kupikir hidupku cukup mengerikan, tetapi setelah berhadapan dengan milik orang lain....
Semua orang jelas terombang-ambing dan berusaha bertahan. Ironis. Aku berusaha bertahan hidup, berjuang hingga tetes darah terakhir, tapi tetap saja gagal.
“Asmara, apa yang kamu lakukan?” tanyaku kepada mendiang Asmara.
Tidak ada rasa syukur maupun senang karena masih diberi kesempatan melanjutkan hidup. Sekalipun Asmara sendirilah yang memilih pergi, tetapi rasa getir yang tertinggal setelahnya justru menghantuiku.
Apa yang akan kulakukan? Tempat yang kupikir rumah ternyata tidak memberiku kebaikan. Hanya penolakan dan pengkhianatan.
Balas dendam?
Tidak. Aku lelah. Balas dendam dan menjadikan siapa pun sebagai musuhku mengalami penderitaan.... Tidak. Aku lelah. Sangat lelah dengan bermacam drama.
Adapun yang kuinginkan ialah, menjalani hidup sebagaimana yang kuinginkan. Tidak ada lagi berharap pada orang lain. Hanya ingin hidup. Hidup dan menikmati segala yang semesta letakkan dalam genggaman tanganku.
Kurobek surat terakhir dari Asmara. Aku tidak mungkin sanggup menjelaskan fenomena supranatural yang terjadi kini. Bahwa aku, orang yang seharusnya mati, justru menempati tubuh orang asing. Tidak ada satu orang pun akan percaya. Kecuali satu. Bahwa aku dianggap sebagai roh jahat, mengambil alih tubuh Asmara, dan sekelompok manusia indigo akan melakukan sesuatu terhadapku.
“Cukup,” kataku kepada diri sendiri.
Asmara boleh mengutukku saat kami berdua kembali berjumpa di neraka. Namun, aku tidak sudi menghabiskan waktu bersama drama baru mengenai setan dan iblis. Peristiwa perpindahan jiwa yang novel maupun film ceritakan jelas terjadi kepadaku.
“Maaf, Asmara.”
Aku akan melanjutkan hidup sebagai Asmara. Lagi pula, dia tidak menghendaki kehidupan. Namun, aku tidak. Aku ingin hidup dan menikmati segala yang dulu kuabaikan demi menyenangkan orang.
Air mata mengalir, membasahi pipi. Setitik rasa bersalah muncul. Perlahan titik itu membesar dan menelanku.
“Maafkan aku, Asmara. Aku ingin hidup.”
Kubuang serpihan kertas yang tidak mungkin bisa dikenali kembali itu ke tempat sampah. Dengan begini, semua bukti telah lenyap.
Kuamati pantulan wajah Asmara di cermin rias. Dia adalah segala yang tidak mungkin bisa kumiliki. Kulit sehat, bibir penuh, hidung mancung, pipi yang merona merah dan tampak segar, lalu rambut....
“Aku tidak tahu cara menjadi istri yang baik,” ucapku pada cermin. “Namun, seenggaknya aku bisa berusaha melindungi orangtuamu, Asmara.”
Itulah caraku membalas budi kepada Asmara.
***
Selesai ditulis pada 8 Agustus 2024.***
Cerita baru. Perpindahan jiwa, tapi bukan isekai. Hehehehehe saya mau mencoba yang lain. (0_0) Sepertinya menyenangkan. Sekali lagi, yaaaaaaaaa. Ini bukan novel isekai. Bukaaaaaaaaaaan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...