6

976 238 5
                                    

Pakaian pilihan Joni tidak memenuhi standar kepuasanku. Dress dengan tipe rok melambai. Oh terutama motifnya, bunga-bunga kuning yang di kulit tidak cocok.

“Nggak,” aku menolak.

Ada satu ruangan khusus yang dipergunakan sebagai tempat menyimpan pakaian, sepatu, maupun aksesoris bagi Asmara. Sebut saja semua merek ternama yang sebijinya harus merogoh uang amat dalam. Dia punya, bahkan edisi khusus.

Di sanalah kami berada. Aku, Joni, dan seorang asisten bernama Rika.

Rika bertubuh mungil. Dia memiliki potongan rambut mirip salah satu karakter jagoan bertopeng. Sejauh ini pendapatku mengenai dia, berdasar memori Asmara, tidak buruk.

“Ya kamu nggak mungkin pakai baju berenda lagi, ‘kan?” Joni masih memegang dress pilihannya. “Acara santai, jangan mengenakan pakaian mencolok.”

Aku menggelengkan kepala sembari berdecak. “Jon, kamu nggak paham. Sekalipun acara santai, tapi disiarkan ke seluruh Indonesia. Mana mungkin aku memilih baju yang membuatku terlihat biasa saja? Seenggaknya aku pengin terlihat berkelas.”

Mengabaikan protes Joni, aku lekas memilih salah satu pakaian. Celana? Hmm aku tidak tertarik. Jins? Terkesan santai. Ha ketemu. Sebuah terusan lengan panjang berwarna peach. Ada kancing-kancing mungil berbentuk bulan sabit. Roknya sepanjang lutut. Tidak ada motif dan modelnya cocok untukku.

Asmara tidak suka baju ini. Sebetulanya baju pilihanku merupakan salah satu dari sekian banyak pakaian yang dibelikan Cipta untuk mengisi ruangan kostum atau apalah milik Asmara. Jelas Cipta punya selera bagus. Kutarik baju itu dari gantungan, memamerkannya kepada Joni dan Rika.

“Gimana?”

“Sempurna!” seru Joni. “Nggak norak-aduh!”

Rika lekas menyikut Joni. Tanda bahwa ucapan Joni bisa menyinggungku. Namun, heiiii aku bukan Asmara. Tidak perlu membesarkan masalah.

“Aku mau ganti baju,” ucapku seraya menunjuk pintu keluar, “kalian tunggu di luar.”

Joni dan Rika pun mengamini perintahku. Mereka pergi.

Aku berganti pakaian. Kain yang membalut tubuh terasa lembut. Modelnya pun ternyata menawan saat membungkus tubuh, terutama menonjolkan bentuk pinggang Asmara. Kemudian aku memilih sepasang sepatu bertumit tinggi berwarna merah. Tidak perlu perhiasan selain sebuah jam tangan berbentuk bunga mungil. Tas? Tas tangan mungil berwarna hitam. Selesai.

Begitu melangkahkan kaki keluar, Joni dan Rika menganga.

“Cantik, ‘kan?” Aku mengedip. Untung aku telah merias wajah terlebih dahulu sebelum berganti pakaian. “Sekarang kita bisa berangkat.”

Sayang sekali tidak ada Cipta. Dia sedang ada di kantor.

Sebuah ide pun terbit. Tidak ada salahnya memulai metode mengejar pria idaman.

Aku meraih ponsel dari tas, lekas mengambil gambar, dan mengirim fotonya kepada Cipta. Untung kemarin aku sempat minta nomor kontak Cipta. Dasar si Asmara. Begitu benci pilihan suami orangtua, amat benci, sampai tidak bersedia menyimpan nomor ponsel Cipta.

[Honey, aku berangkat kerja. Jangan lupa tonton diriku, ya?]

Send.

***

Satu kata. Jebakan!

Aku tahu bahwa host tidak hanya mengundang diriku seorang dalam talk show. Oh salah, aku tidak peduli dengan undangan mana pun. Bagiku sama saja. Adapun yang teringat di kepalaku hanyalah himbauan Joni perihal tidak berulah dan bla bla bla. Terserah.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang