Berita mengenai Asmara mulai mereda, pikirku. Namun, berita naik kembali dengan sejumlah foto baru. Kali ini media gosip menampilkan foto yang diambil, dugaku, saat aku berakting sebagai Naya.
Joni terlihat paling bersemangat melakukan bersih-bersih. Dia melarangku tampil dan menyuruhku percaya saja kepadanya. Jadilah dia sering nongol di berbagai liputan.
Aku tidak ambil pusing. Penggemar Arga ada yang agresif, tetapi mereka tidak sampai menghujatku secara berlebihan. Mungkin gara-gara foto-foto terbaru sekadar menampilkan aku dan Arga yang biasa saja. Tidak ada kesan tebar pesona, cari perhatian, maupun jelalatan. Murni sekadar ada bersama tanpa bumbu kasmaran.
“Nggak usah dipikiran.”
Teguran Cipta membuatku sadar dari kontemplasi. Kami sedang berdua, di perpustakaan. Dia duduk menghadap laptop, sibuk mengetik sesuatu. Aku berbaring santai di sofa, tangan sibuk menggulir layar ponsel.
Kegiatan berdua ini seharusnya jadi nikmat. Namun, sejumlah pemberitaan yang marak beredar membuatku masam. Aku tidak suka dikaitkan dengan Arga. Keterlaluan.
“Cipta, kamu mau nggak pamer kemesraan di media sosial bersamaku?”
Lekas kuletakkan ponsel di meja yang kini telah berfungsi sebagai gunungan buku. Aku pun duduk, bersangga dagu, dan memasang senyum manis dengan harapan bisa menjerat Cipta.
“Fo-foto?” Lagi-lagi dia tersipu. Sejenak ia abaikan ketikan, sibuk mengamati suatu titik khayalan di langit-langit. “Bersama? Ka-kamu nggak keberatan kita pamer?”
“Suamiku, jangan gitu dong.” Aku pun bangkit dan mendekati Cipta. Kulingkarkan tangan di lehernya dan mulai menggelayut manja. “Aku, kan, pengin ngasih tahu seluruh dunia bahwa kamu suami terbaik.”
Cipta mengurai pelukanku. Dia terlihat berusaha mencari udara. Lucu, ya? Biasanya cewek yang tersipu, tapi pada kasusku beda. Mengapa aku yang harus repot jadi serigala, sih?
“Asmara....”
Sebelum dia mulai ceramah panjang lebar, lekas kuletakkan telunjuk tepat di bibirnya. “Enggak apa-apa. Lagi pula, aku pernah bilang bahwa kita sudah saatnya berusaha menjalin hubungan serius.”
Cipta masih diam.
“Nggak ada perasaan apa pun yang tersisa dariku untuk Arga,” aku mencoba menjelaskan. Ini perlu dibereskan. “Aku cuma butuh kamu. Bukan orang lain.”
Pipi Cipta makin merah. Dia bahkan membuatku merasa menjadi si serigala yang berusaha merayu Tudung Merah. Astaga. “Foto, ya?”
Akhirnya aku bisa memasang foto terbaik, sebisaku, di media sosial. Tidak lupa kutuliskan keterangan:
[Bersama suami tersayang.]
***
Hanya perlu satu foto. Satu. Gosip yang selalu mengaitkanku dengan Arga pun surut. Aku curiga itu ada hubungannya dengan Cipta. Berapa uang yang ia gelontorkan untuk menghentikan bola panas yang bergulir liar itu?
Cipta tidak mengatakan apa pun. Dia menyarankanku agar fokus bekerja di bidang yang kusukai. Itulah yang kulakukan, membuat lagu.
Lagu untuk video terbaru proyek terbaru Handoko. Sebuah video singkat. Amat singkat. Mungkin tidak lebih dari lima belas menit. Video itu digunakan sebagai promosi novel milik kenalan Handoko. Lucunya, Handoko sengaja menggunakan Arga!
“Ayolah, ceritanya mirip Naya lho,” bujuk Handoko di telepon. “Mamamu sudah kasih izin. Eh, suamimu juga. Jadi, kamu nggak masalah terjun ke proyek ini! Hahahahahahaha!”
Ingin kutendang otak kapitalis milik Handoko. Cipta terlalu baik. Dia berkata, “Nggak apa-apa kok.”
“Kamu nggak takut aku digosipin dengan Arga lagi?”
“Nggak,” jawabnya dengan senyum manis, “aku percaya sama kamu.”
Dia terlalu positif!
Tentu aku tidak tertarik kepada Arga, tapi setidaknya tolong cemburu sedikit. Sedikit saja. Suamiku justru terlalu positif hingga membuatku gigit jari.
Jadilah aku menulis sebuah lagu. Aku harus membaca novel yang bersangkutan. Tentu dengan bantuan Cipta. Dia tidak keberatan memberiku masukan terkait karakter dalam cerita. Aku tidak keberatan membaca, tapi tolong jangan menyodoriku kisah tragis! Hatiku tidak siap!
Intinya, novel tersebut mengisahkan tentang seorang perempuan yang jatuh hati kepada sahabatnya. Alih-alih jujur, dia justru membiarkan pria itu menikah dengan gadis lain yang notabene adalah sahabat yang dikenalkan oleh si perempuan itu sendiri.
Bagian mana yang mirip Naya?
Bagian tragisnya!
Handoko kurang ajar!
***
Aku ingin menggantikan dia.
Dia yang kini mengisi kekosonganmu.
Aku ingin menggantikan dia.
Dia yang menjadi cahayamu.Mengapa bukan aku yang jadi pilihanmu?
Apakah aku harus menahan sakit dalam hati?
Padahal melihatmu bersamanya saja begini berat.Siang. Malam.
Dunia seperti berputar tak terkendali.
Semestaku hancur.
Siang. Malam.
Hidupku tidak lagi sempurna.
Jiwaku lebur.Tolong biarkan aku mencintaimu sama hebatnya seperti dia.
Tolong izinkan aku jadi yang kau inginkan.
Jangan sakiti hatiku sekeji ini.
Jangan abaikan aku.
Kumohon.Satu lagu mengenai menyiksa diri sendiri. Aku curiga diriku akan dikenal sebagai pencipta lagu tragis.
“Kamu nggak pengin ganti profesi jadi penulis naskah, Asmara?”
Handoko duduk di sofa. Aku baru saja selesai merekam lagu. Berhubung Handoko sangat penasaran dan ingin melihatnya secara langsung, jadilah dia ikut ke studio.
“Nggak, Om,” jawabku sembari mengempaskan diri ke sofa, “serius, nih? Arga yang jadi bintang utama? Lagi?”
“Dia bintangnya, Asmara,” jawab Handoko sembari terbahak. Dia menepuk paha seakan menemukan lelucon renyah. “Mau ikut jadi bintang di video promosi?”
Lekas kugelengkan kepala. “Cukup jadi penyanyi.” Kusilangkan tangan membentuk X. “Capek. Apa nggak bosan yang nonton? Dia lagi. Dia lagi.”
“Ya enggak lah. Asmara, asal kamu tahu. Dia punya penggemar setia yang nggak kalah sinting dari paparazi.”
“Nguntit sampai ke toilet?” celetukku.
“Sembarangan. Mana bisa? Asmara, Om berharap besar kamu mau berpartisipasi. Apa kamu nggak pernah baca respons penonton? Mereka berharap Naya bahagia lho.”
Kuambil botol air minum di meja. Lekas kubuka tutupnya dan minum sebanyak mungkin. Usai memuaskan dahaga, barulah kujawab. “Om, nggak.”
“Cih kamu. Ineke saja memohon-mohon ke Om agar diikutsertakan ke proyek terbaru. Dia jauh lebih bersemangat daripada kamu.”
Tidak mengherankan. Pastilah Ineke ingin mengejar Arga bahkan sampai ke dasar lautan sekalipun.
“Jangan dengarkan gosip,” Handoko menyarankan. “Om baca semua kok. Siapa pun yang mengincarmu pastilah punya niat nggak baik.”
“Om nggak kerja? Kok bisa-bisanya baca gosip?”
Handoko pura-pura batuk. “Om sibuk. Sibuk banget. Namun, Om ini tipe yang tetap menyempatkan diri untuk membaca. Gitu.”
Bohong banget.
Asli!
***
Selesai ditulis pada 3 Oktober 2024.***
Love. Love. Love.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...