23

1.1K 218 7
                                    

Bukan perkara sulit tampil di hadapan orang asing. Asal aku tidak perlu pura-pura menjadi sesuatu yang palsu, mudah saja bekerja sepenuh hati. Karyawan di kafe yang kutempati sangat menolongku. Mereka ramah, tidak membuatku merasa dilabeli sebagai produk komersil, dan membantuku mengurus satu dua hal.

Kamerawan yang mengikutiku pun orangnya periang. Dia selalu menyemangatiku agar tampil seratus persen. Kadang dia ikut melucu dengan cara merespons candaanku.

Lalu, mengenai tampil!

Ada satu piano yang sangat mirip dengan milik Cipta. Bedanya hanya pada warna: hitam. Bermacam orang datang, sekadar ingin menontonku ataupun makan. Tidak masalah. Mereka manis dan tidak menggigit.

Untuk pemanasan, pertama kali kusajikan sebuah lagu dari Yiruma berjudul Love Poem. Jemariku menari dengan lincah di atas tuts. Tidak perlu bersenandung maupun berdendang. Cukup gerakan jari dan semua orang bisa menikmati konser dadakan.

Puas dengan Yiruma, aku mulai memainkan musik dari Yoko Kanno berjudul Friends. Salah satu kesayanganku. Lagu yang membuatku merasa ada di suatu hutan, disirami hujan, dan udara terasa lembap.

Permainan ketiga kupersembahkan sebuah lagu dari Padi berjudul Kasih Tak Sampai. Saat berhasil menyelesaikan permainan, aku menyadari sesuatu. Pengunjung yang tadinya kupikir sekadar melakukan rutinitas masing-masing, ternyata mereka fokus mengamatiku. Ada yang menyalakan ponsel, merekam, adapula yang memilih duduk manis dan mendengarkan permainanku sampai selesai.

Aku pun berdeham, memasang senyum manis, dan berkata sembari melambaikan tangan. “Halo, khusus hari ini aku akan dengan senang hati memainkan lagu yang kalian inginkan.”

Salah satu pengunjung, seorang cewek dengan rambut yang diwarnai pink menyala langsung berseru, mendekatiku dengan tatapan mata berbinar. “Kak Asmara, boleh request lagu?”

“Tentu,” sahutku sembari mengangguk.

“Tolong mainkan lagu Ailee yang I Will Go to You Like the First Snow, ya?”

Untung aku sering mendengarkan bermacam lagu, walaupun menurutku perbendaharaan laguku masih sedikit, tetapi lagu yang satu itu tidak asing.

“Boleh.”

“Kak Asmara, nyanyi sekalian dong!”

Kali ini permintaan itu masih sanggup kuikuti. Aku meminta tolong kepada pegawai agar mengubah posisi mic, agar mudah bagiku memainkan piano sembari bernyanyi.

Suaraku pun melantun mengikuti irama denting piano. Salah satu lagu yang sebenarnya tidak berani kunyanyikan sendirian karena ujung-ujungnya pasti menangis. Bahkan sekarang pun aku ingin menangis karena teringat dengan adegan yang melintas di kepalaku.

Lagu ini membuatku teringat pada masa lalu. Bahwa dulu aku pernah menjadi orang yang berharap bisa mencintai sebesar gunung dan sedalam lautan. Namun, cinta yang tidak mendapat balasan bukanlah sesuatu yang melegakan ataupun mudah dihadapi seperti yang digambarkan dalam novel. Rasa sakitnya tetap luar biasa, bahkan menyesakkan.

Selesai memainkan lagu dari Ailee, seorang nenek memintaku memainkan ABBA. Dancing Queen pun meluncur menemani penontonku yang semakin bertambah. Kabar bagus karena pemasukan kafe yang kudatangi bertambah. Senang melihat keberadaanku tidak menjadi beban bagi seseorang. Bahagia merasa diriku berarti bagi orang lain.

“Khusus yang satu ini,” kataku kepada penonton yang telah terbentuk di hadapanku seperti pasukan semut mengerubungi gula, “kupersembahkan kepada pejuang hidup! Terima kasih telah bertahan sejauh ini. Apa pun yang kalian perjuangkan pasti akan membuahkan hasil yang manis.”

Maka, aku pun mulai melantunkan sebuah lagu dari Owl City berjudul To the Sky.

Birds-eye view, awake the stars 'cause they're all around you.
Wide eyes will always brighten the blue.
Chase your dreams, and remember me, sweet bravery.
'Cause after all those wings will take you, up so high.
So bid the forest floor goodbye as you race the wind.
And take to the sky.

Tidak pernah kusangka bahwa bernyanyi untuk orang lain bisa semenyenangkan ini.

***

Selesai. Aku keluar sebagai pemenang. Ineke, berdasar informasi yang kuperoleh dari Rika, cukup dramatis. Dia tidak bisa bermain musik semahir yang dikabarkan dalam berita di media mana pun. Bahkan dia menuntut mendatangkan pemain musik pilihannya sendiri.

Cukup luar biasa Ineke bisa mempertahankan peran manisnya di depan kamera. Aku duga untuk alasan semacam inilah Handoko memilih Ineke.

Selesai memenuhi semua tugas, aku dan Rika berniat pulang. Susana area parkir cukup sepi, terlebih matahari hampir tenggelam dan tampaknya semua manusia bersiap pulang maupun lembur.

“Hebat banget!” Rika memuji. “Aku udah merekam semuanya! Hahahaha boleh kuunggah di media sosial?”

Aku mengangguk. “Boleh.”

Belum sempat tanganku terjulur, hendak membuka pintu mobil, seseorang berseru menghentikanku.

“Pura-pura nggak dengar aja deh,” Rika menyarankan.

Sayang nasihat itu tidak bisa dijalankan karena oknum yang bersangkutan telanjur tiba.

Ineke terengah-engah karena berlari dan di belakangnya ada asistennya. “Kamu sengaja bayar pihak studio buat ngejebak aku, ya?”

“Omong kosong macam apa ini, Ineke?” Mulutku seolah baru saja mencicipi makanan basi. “Memangnya kamu pikir semua orang selicik itu hanya demi menyingkirkanmu?”

“Jujur saja,” tuntutnya. Ia menaikkan dagu, mulai membusungkan dada, dan melipat tangan. “Semenjak makan bersama di restoran tempo lalu pun kamu kelihatan banget nggak suka denganku.”

Tanganku menahan Rika yang sepertinya hendak melayangkan jurus maut. “Ineke, dunia nggak berputar di sekitarmu. Tolong minggir karena suami tercinta sedang menungguku pulang.”

Lagi-lagi Ineke menghalangiku. Wajahnya mulai tampak kemerahan. Titik-titik keringat bermunculan di pelipis dan dahi. “Aku berusaha bersabar dengan tingkahmu,” katanya, tajam. “Dulu kamu ngotot ngejar-ngejar Arga, pasti semua ini kamu lakukan demi menyingkirkan pesaingmu, ‘kan?”

Sungguh bodoh sekali diriku dulu. Sempat menganggap Ineke sebagai sosok tidak tersentuh. Setelah melihat betapa kacau dirinya saat ini, semua anggapan keren diriku mengenai dirinya pun rontok.

“Ineke, kejar saja Arga. Nggak ada yang ngelarang kok.”

Kulihat asisten Ineke saling lirik. Mungkin mereka berharap bisa mengajak Ineke pergi sebelum ada orang kurang kerjaan yang mengabadikan kami dalam rekaman. Bagiku tidak masalah bila rekaman hari ini tayang di mana pun. Namun, pasti susah bagi Ineke. Dia tidak suka dilebali sebagai artis kelas F.

“Mbak Ineke,” panggil salah satu asisten, “Nyonya menunggu.”

Alih-alih mengamini permintaan asisten, Ineke masih saja tergoda menggangguku. “Aku nggak percaya omong kosongmu.”

“Terserahmu.” Kali ini kubuka pintu mobil, mengarahkan Rika lekas masuk sebelum dia mengamuk. “Aku nggak punya kewajiban meyakinkanmu.”

Begitu duduk, segera kututup pintu mobil dan meminta sopir lekas melajukan mobil. Rika masih saja mengecek Ineke dan kuduga dia tidak keberatan menghajar Ineke.

“Sumpah!” seru Rika, kesal. “Dia masih melototin mobil!”

Mobil kini keluar dari area parkir, masuk ke jalan dan bergabung dengan kendaraan lainnya.

“Obatnya habis, ya?” tanya Rika yang kini cemberut. “Pasti begitu. Persis tetanggaku sewaktu lupa minum obat.”

Kubelai kepala Rika. “Kamu jangan serang dia, ya?”

“Hmmm paling entar juga ada orang lain yang nonjok dia,” gerutu Rika. “Soalnya dia ngeselin.”

“...”

Semoga asistenku tidak terlibat masalah.

***
Selesai ditulis pada 12 September 2024.

***
Akhirnya bisa saya terbitkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan! Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa senaaaaaaaaaaaang!

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang