22

943 220 3
                                    

Pada akhirnya aku tidak berani bicara jujur. Tidak berani mengatakan bahwa putri mereka yang telah hilang, Kenanga, masih ada. Justru putri yang mereka besarkanlah telah hilang. Tidak kusangka hal paling menakutkan dalam hidupku ialah, bersikap jujur mengenai diri sendiri.

Sepanjang perjalanan pulang benakku dipenuhi bermacam pikiran. Malu karena bersenang-senang di atas kehilangan orangtuaku. Sedih sebab aku menganggap diriku berhak melanjutkan hidup di raga adikku. Apa bedanya aku dengan Ineke?

Kupejamkan mata, berharap bisa menemukan Asmara dan bertanya, “Apakah kamu nggak pengin melanjutkan hidup?” Tentu saja aku tidak mendapatkan balasan apa pun. Hanya ada keheningan. Sunyi.

Semenjak kejadian itu, aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Biasanya ada beberapa tawaran dari Joni yang kutolak, tetapi kini kuterima. Puncaknya saat mengikuti reality show yang mengadu undangan dengan bakat menyanyi.

Ineke termasuk salah satu yang datang sebagai peserta. Dia terlihat percaya diri dalam balutan rok dan atasan berbahan lembut. Tidak seperti Ineke, aku memilih ide lain. Joni menyarankanku agar mengenakan pakaian yang santai saja. Itulah yang kukenakan; celan jins warna biru tua, kaus lengan panjang, dan sepatu tali. Aku tidak berencana mempermalukan diri sendiri di lantai yang mungkin licin.

Oke, mungkin tidak licin. Tidak ada salah berjaga-jaga. Reality show berkonsep game, menantang peserta beradu kemampuan, dan sekalian dijadikan sebagai ajang promosi.

Hanya ada dua bintang saja yang diundang. Aku dan Ineke.

Apakah ini berarti takdir, sebuah pertanda, bahwa aku memang harus menyelesaikan perselihan dengan masa laluku?

Entahlah. Saat ini aku tidak ingin membuat hidupku makin keruh. Papa dan Mama sering mengabariku, sepertinya berusaha merelakan putri mereka, dan bersikap baik-baik saja. Aku akan berusaha menenangkan diri, lalu setelah kutemukan keberanian....

“Asmara! Asmara!”

Teriakan memanggil namaku, menyadarkanku dari lamunan.

Aku sedang berdiri di atas panggung. Anggap saja begitu sekalipun ukurannya mini. Di sana aku tidak sendirian karena ada pembawa acara, seorang pria muda yang mengenakan jas warna pink, dan Ineke. Kami memamerkan senyum termanis seolah ditaburi ribuan butir gula pasir dan memberi tampilan terbaik di hadapan kamera.

“Kalian berdua, kan, terlibat satu produksi film yang sama,” ujar si pembawa acara, “nggak salah dong kami minta pendapat kalian terkait satu sama lain?”

“Nggak ada pendapat khusus,” Ineke langsung menyambar, “cuma sayang banget Asmara nggak main sampai full.” Dia tertawa menggemaskan, tapi kuduga sebenarnya sedang mengasihani diriku seolah peran cinta pertama seseorang amatlah tragis. “Nggak tahu deh kalau dapat kesempatan jadi pemeran utama.”

Si pembawa acara untungnya tidak langsung tersulut semangat bergosip. Dia hanya mengangguk-angguk, menyentuh dagu, kemudian menjentikan jari. “Asmara, nonton film yang kamu bintangi. Terus terang, nih. Hmm kenapa nggak dari dulu saja terjun ke dunia tarik suara?”

Pertanyaan yang tidak mungkin disambar oleh Ineke. Kecuali, dia tertarik mendapat sorotan dari masyarakat.

“Sebelum ketemu suami,” ujarku sembari tersipu. Sejenak kutatap kamera, berharap Cipta menonton! Harus! Kalau tidak, nanti dia kupaksa nonton siaran ulang di YouTube. “Nggak kepikiran serius di dunia seni musik. Pokoknya suami memang berjasa dalam menyemangatiku berkarya.”

Pembawa acara pun berdeham. “Semoga di luar sana ada yang masih menungguku buat jadi pasangan manis gula-gula.”

Semua orang tertawa. Termasuk Ineke yang jelas-jelas memaksa diri sendiri tertawa. Padahal, tidak perlu.

“Dengar-dengar, nih,” pembawa acara mulai memamerkan tampang pemburu gosip, “Asmara ditawari jadi bintang iklan untuk parfum-hihihi katanya bisa pasangan bareng Arga. Kenapa ditolak? Kalau sumber informasi bisa dipercaya, nih. Jadi, kenapa?”

Ineke pun sontak kehilangan kontrol. Dia tidak lagi memamerkan senyum sempurna. Kulihat dia tengah mengamatiku, memberiku tatapan tajam. Persis ular beracun yang tengah mempertimbangkan hendak menggigit lawan atau tidak.

“Ya,” aku membenarkan.

Masih tidak berubah. Ineke tidak suka dengan siapa pun yang bisa merebut kesukaannya. Entah benda maupun manusia. Dia tidak peduli.

Aku pun gila. Tiba-tiba saja aku ingin melakukan sesuatu. Hal yang dulu tidak bisa kulakukan yakni, membalas perbuatan Ineke. Sekarang ada peluang. Dia tidak bisa menyakitiku sesuka hati.

“Memang ada tawaran,” lanjutku menjelaskan. Dengan senang hati akan kutuang bensin ke atas kobaran api. Sejenak aku terkikik, pura-pura malu padahal tidak sama sekali. “Ya gitu deh. Aku tolak. Soalnya aku nggak mau suamiku cemburu.”

“Hmmm memang suami Asmara gampang cemburu?”

Lekas kulambaikan tangan, bergerak seperti hendak mengusir angsa nakal. “Nggak kok. Dia justru susah banget dibuat cemburu. Buktinya dia nggak keberatan sewaktu tahu aku main di film yang sama dengan Arga. Justru dialah yang tertarik ikut nonton perdana.”

“Nggak cemburu sama sekali setelah tahu Asmara jadi cinta pertamanya Arga?”

Aku menggeleng. “Enggak. Dia terlalu ijo banget.”

Sekali lagi semua orang yang ada di studio pun tertawa. Aku ingin menghajar kesabaran Cipta karena dia susah sekali dibuat cemburu! Kadang aku yang waswas andai ada cewek yang berseliweran di sekitarnya. Ingin rasanya kutempelkan stiker besar di dahi Cipta yang bertuliskan: “Suami Asmara. Titik.”

“Bicara mengenai pasangan,” pembawa acara melempar bola pertanyaan kepada Ineke, “apa kami sebentar lagi akan mendengar kabar mengenai ehem sesuatu?”

Ineke terkekeh. Dia menyelipkan rambut di belakang telinga. “Tolong doakan saja. Soalnya cowok yang aku kejar masih belum move on dari mantan.”

“Waduh!” seru pembawa acara. “Susah dong. Aku nggak mungkin kuat mengejar orang yang masih belum selesai dengan masa lalunya.”

“Nggak apa-apa kok,” sahut Ineke. “Namanya juga perjuangan.”

Berani taruhan. Ineke tidak akan melepaskan incarannya demi apa pun. Dia hanya akan merelakan sesuatu ketika telah kehilangan minat.

“Oke deh.” Pembawa acara kini menghadapi kamera. “Di sini ada dua bintang berkilau. Kalian akan melihat bintang mana yang akan meroket atau keduanya justru melambung dan membuat kita semua terpukau?”

Akhirnya saatnya memulai permainan.

“Di sini ada dua tugas penting,” si pembawa acara menjelaskan. “Asmara dan Ineke akan ditantang oleh kami. Mereka harus bekerja sebagai penyanyi di kafe yang telah kami tunjuk. Misinya mudah saja. Membuat kafe kedatangan banyak pengunjung dan ciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik kafe! Hahaha sama-sama menguntungkan bagi semuanya, ‘kan?”

Seingatku kafe yang menjadi tanggung jawabku letaknya di seberang kampus yang amat terkenal, sementara kafe yang ditunjuk untuk Ineke ada di depan kampus yang mayoritas menelurkan pengacara hebat. Kami berdua akan bersaing di area berbeda.

“Siap?”

Aku akan membuat Cipta bangga. Tampil sebagai penyanyi di suatu kafe bukanlah perkara mudah. Tidak semua orang sanggup bernyanyi sekian jam dan menahan diri tidak diserang panik.

Awal baru membalas Ineke.

Dimulai dari menamparnya di bagian popularitas.

***
Selesai ditulis pada 8 September 2024.

*** 
Di sini turun hujan. Deras banget! Senang deh! Nggak panas. Kucing saya jadi tidur di rumah dan sepertinya semua kucing kalau cuaca dingin hobinya tidur.

Jangan lupa minum air putih secukupnya agar terhindar dari dehidrasi.

Huhuhu salam sayang dan cinta.

Love.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang