Ponsel Asmara berdering. Puluhan notifikasi pesan satu per satu menghantam layar, menuntut perhatian. Sebagian besar pesan berasal dari manajer dan asisten.
Asmara termasuk artis, yang menurutku, tidak berbakat. Dia bisa main film karena campur tangan orangtua. Selain itu? Hanya wajah saja yang menjual. Vas kosong. Cocok jadi pajangan. Itulah fungsi Asmara dalam suatu drama. Dia beruntung. Sangat beruntung. Artis lain pasti harus merangkak dari bawah agar bisa mendapat pancaran sinar, tetapi Asmara hanya perlu meniti tangga emas. Dia bahkan bisa menyuap wartawan mana pun agar bersedia memberi pemberitaan positif. Itu semua kuperoleh dari ingatan Asmara.
Manajer dan asisten Asmara sudah biasa mendapat perlakuan menyebalkan darinya. Aku tidak perlu berlagak sebagai dewi, bermanis-manis, dan mengubah cara pandang mereka. Menyenangkan orang lain bukanlah tanggung jawabku. Titik.
Kuabaikan pesan dan memilih menggulir layar, masuk ke laman pemberitaan.
[Kenanga Sarasvati tewas dalam kecelakaan tragis.]
Cukup membaca satu kalimat saja. Tidak perlu membaca keseluruhan detail yang diketik wartawan. Mereka pasti akan mengisahkan mengenai betapa hebat dan luar biasa Kenanga Sarasvati. Tidak ada yang istimewa.
Kenanga Sarasvati. Identitas asliku. Masa laluku. Kini urusanku dengan keluarga laknat itu telah usai. Tidak ada yang bisa menghalangiku menikmati hidup sebagai orang biasa. Sebagai Asmara, aku bisa berbuat sesuka hati. Tidak perlu memikirkan kepentingan orang lain. Hebat!
Aku mulai memesan makanan melalui aplikasi antar, memastikan tidak ada satu pun yang tertinggal. Sekitar dua puluh menit kemudian pelayan mengetuk pintu kamar, mengabarkan bahwa Cipta ingin bicara denganku.
Cipta. Beruntung sekali Asmara mendapat pria sekelas Cipta. Setelah pernikahan yang tidak ia kehendaki, Asmara boleh tidur terpisah dan tidak melaksanakan kewajiban apa pun. Bagus. Aku tidak berminat melanjutkan peran istri baik hati, KEBETULAN, Asmara memang tidak baik hati. Sangat memudahkanku, bukan?
Terlalu malas berganti pakaian. Biar saja Cipta melihatku dalam balutan gaun tidur. Lagi pula, tipe gaun yang Asmara kenakan tidaklah “mengundang”. Lebih tepatnya, imut. Menggemaskan. Padahal dia tidak cocok mengikuti kesan lolita. Bila mengikuti saranku, seksi elegan lebih tepat. Sayang sekali dia tidak mempertimbangkan opsi tersebut.
“Nyonya....”
“Pastikan makanan yang kupesan nanti langsung dibawa ke dapur,” kataku memotong ucapan si pelayan. “Ada di mana Tuan?”
“Di perpustakaan, Nyonya.”
Ingatan Asmara memberiku akses berkelana. Tidak ada satu pun kesulitan bagiku. Aku bahkan tidak mengetuk pintu perpustakaan, langsung masuk, dan mendapati Cipta tengah duduk di sofa baca.
Wow. Seratus. Melihat Cipta di layar televisi versus mata kepala sendiri? Jelas beda. Dia tipeku! Wajah tegas, sepasang alis tebal yang membingkai sepasang mata dengan sorot mata tajam, hidung yang tidak terlalu mancung, bahu bidang, dan hmm pinggang yang cocok kupeluk.
Asmara bodoh sekali mengabaikan pria seksi ini. Bodoh.
Cipta mengerutkan kening saat melihatku. Mungkin dia tidak pernah mengira bahwa istrinya akan datang dalam tampilan sederhana. Gaun tidur dan selop bulu.
“...”
Lupakan misi mengabaikan tugas istri. Ralat penilaianku yang lalu. Kalau Cipta seperti ini, aku akan berusaha membuatnya jatuh hati kepadaku! Seumur hidup, maksudku sebagai Kenanga, aku merasa hambar. Semua pria terlalu monoton dan mereka tidak memberiku sensasi semacam ini. JR Ward tidak bohong. Dia benar-benar menggambarkan bahwa pria matang memiliki pesona mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...