20

1K 221 2
                                    

NOTE: EKSTRA ASMARA JINGGA EPISODE 1 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA! Selamat membaca. :”) Tenang saja. Cerita utama, POV Kenanga, tetap akan saya tulis sampai selesai di sini.

***

Joni mengabariku bahwa salah satu brand parfum menginginkanku sebagai bintang iklan. Hanya saja, iya sedikit masalah, di sana aku dipasangkan dengan Arga.

Cukup mencurigakan? Iya, sangat mencurigakan. Namun, aku tidak ambil pusing. Tinggal tolak.

“Kenapa kamu nolak tawaran kerja, Asmara?” tanya Cipta yang tengah menemaniku bersantai di perpustakaan.

Kami berdua duduk di sofa, ditemani bertumpuk buku di meja, dua cangkir teh hangat, dan membiarkan suara hujan bekerja sebagai musik penenang.

“Aku nggak pengin kerja bareng Arga,” kataku memberi penjelasan. Kutarik selimut, sekalian merapatkan diri kepada Cipta (yang sedikit mulai tenang dan tidak kelabakan saat kudekati). “Capek.”

Di pangkuan Cipta ada buku yang membahas mengenai petualangan Genji. Pemuda menawan dengan percintaan mengenaskan.

“Kenapa kamu tertarik baca Genji, sih?” Kutarik buku tersebut, mengamati setiap kata, dan keningku pun berkerut. “Apa kamu berencana mengikuti rekam jejak Genji? Mohon maaf, Suamiku. Aku keberatan. Bagaimana kalau kita mulai sekamar dan kamu nggak usah batuk-batuk gitu!”

“Ter-terlalu cepat,” ucapnya dengan kecepatan siput. Bukan siput berotot di animasi Larva, tentunya. “A-aku butuh membiasakan diri.”

“Memangnya kamu nggak pernah dekat dengan cewek?” godaku sembari mencolek perut Cipta yang-uhuuuu keras.

Bolehkah kupastikan, uhuk demi kepentingan penelitian sejuta umat, ada ABS di balik kain? Semisal, oke semisal, ingin mengucek baju di atas sana sampai bersih.

“Jangan bilang,” tuduhku sembari menjadikan telunjukku sebagai senjata, mengacung ke wajah Cipta, “kamu mau merasakan perjalanan asmara Genji, ya?”

Lalu, kusilangkan kedua tangan di depan dada. Pura-pura galak. Berharap lawanku mundur dan tidak berani melakukan apa pun yang tumbuh di fantasi liarnya.

“Cipta, dengarkan saranku. Genji naksir ibu tiri, sampai punya anak hasil perselingkuhan, dan itu belum termasuk beberapa perempuan yang terlibat percintaan dengannya. Jangan lupakan perempuan yang mati karena kutukan arwah penasaran. Lupa? Aku ingatkan, dia pernah jadi kekasih Genji, walau sekejap.”

Cipta menggeleng dan tawa pun lolos dari mulutnya. “Enggak. Aku nggak punya minat semacam itu. Aku baca Genji karena tertarik saja. Enggak ada keinginan meneliti lebih jauh sejarah mereka.”

Tanpa menunggu persetujuan, kulingkarkan tangan di tubuh Cipta, memeluknya. “Pengarang Genji seorang perempuan lho, kalau nggak salah.”

“Aku nggak masalah baca buku yang ditulis gender mana pun selama isinya sesuai dengan minatku.”

“Oke, sayangku. Tapi, aku tetap nggak mau mengamini tawaran kerja jadi bintang iklan buat produk parfum. Malas. Bukan malas dengan parfumnya, melainkan nggak pengin berhubungan dengan Arga. Apa kamu nggak merasa cemburu gitu?”

Saudara-saudara, tolong kasih tahu aku cara membuat Cipta bertekuk lutut kepadaku. Dia terlalu jinak dan membuatku merasa menjadi predator! Ke mana perginya cowok alfa ala novel ... uhuk. Tidak jadi.

“Asmara, kamu nggak usah mengorbankan banyak hal. Aku berharap kamu tetap menikmati apa pun yang dulunya kamu cintai. Pekerjaan, hobi, apa pun. Tolong jangan batasi dirimu.”

Sejenak aku terdiam.

Sekalipun diam, tapi suasana di kepalaku amat bising. Penuh dengan suara, riuh, dan membuatku kerdil.

Berapa lama aku berharap seseorang menjulurkan tangan, meraihku dari kegelapan, dan membuatku merasa utuh?

Tentu saja rasanya seperti terjebak dalam keabadian. Menunggu benar-benar melelahkan. Setiap penantian yang kulakukan dibayar dengan pengkhianatan. Sayapku dicerabut, mimpiku dikotori, dan jiwaku perlahan pudar. Hidup sekadar menjalani saja. Tidak ada mimpi. Berharap monster benar-benar ada dan menelanku.

Sekarang saat bersentuhan dengan buah terlarang, kebahagiaan, aku enggan berpisah.

Andai aku bisa jujur, mengatakan kebenaran kepada Cipta maupun keluarga Asmara, bahwa aku....

“Asmara?”

Suara Cipta berhasil mengusir lamunanku. Dia memperhatikanku, tatapan matanya waswas, dan tangannya menyentuh keningku.

“Aku baik-baik saja kok,” kilahku berusaha menutupi perasaan tidak menyenangkan yang telanjur muncul. “Cuma kepikiran kamu tuh terlalu sempurna.”

“Nggak begitu kok.” Cipta menarik tangannya. Barangkali puas setelah tahu diriku baik-baik saja. “Aku juga punya banyak kelemahan.”

Kedua alisku pun kugerakkan, naik turun, mirip ulat. “Oh, ya?”

“Aku nggak bisa main alat musik.”

“Tapi, bisa cari uang sebanyak ini?”

“Aslinya ngos-ngosan juga kok ngumpulin uang.”

“...”

Ternyata sama saja!

Cipta terkekeh. Suara tawanya seperti obat yang berhasil menyembuhkan sedikit luka dalam diriku. Dia matahariku. Kehidupanku. Andai tidak bertemu dengannya, mungkin aku akan selamanya terpenjara dalam kegelapan.

“Biarkan kubacakan beberapa puisi kesukaanku,” Cipta menawarkan.

Dia bangkit, mencari buku di antara rak, dan membawanya kepadaku.

... dan Cipta pun membaca:

***

“Serius? Kamu tolak?”

Joni menginvasi kenyaman dan waktu santaiku. Dia duduk di seberang meja makan, merengut, dan berlagak seperti anak kucing.

“Aku nggak pengin kerja bareng Arga, Jon.” Rencananya aku ingin menikmati roti isi yang baru saja dibuatkan untukku. Namun, sebelum makanan bisa tercicip.... Ha ha ha datang pengganggu. “Lagi pula, nanti pasti datang tawaran lain.”

Joni membenturkan dahinya ke meja. Tentu saja tidak keras karena bila sampai gila, akan kuhubungi RSJ terdekat. “Astaga, Asmara. Padahal kita bisa memanfaatkan peluang itu.”

“Nggak, nggak, nggak. Terlalu berisiko. Apa kamu nggak baca komentar yang ditinggalkan penggemar di akunku? Tentu saja, penggemar Arga.”

Lekas Joni meraih ponsel dari saku, mengecek, dan mulutnya menganga. “Mereka bisa sebersemangat gini, ya? Padahal kamu cuma pamer foto gandengan tangan doang.”

“Tuh, ‘kan? Di situ pun kutulis suamiku, bukan Arga. Tapi, masih saja ada orang yang mengaitkanku dengan Arga.”

Foto gandengan tangan kuambil saat kami, aku dan Cipta, menghabiskan waktu di perpustakaan kala itu. Menurutku sangat manis dan tidak berlebihan. Namun, ada beberapa orang yang memang tidak senang bila ada orang sedang bahagia. Contoh, penggemar Arga yang liar.

“Tapi,” cerocos Joni, “mereka nggak sampai ngehina kamu. Cuma bilang, ‘Ih sayang banget. Naya udah jadian ama orang lain.’ Gitu doang. Coba kamu tengok akun punya Ineke. Parah banget. Asli!”

Buat apa? “Nggak tertarik.”

Lekas kulahap roti isi sebelum terlalu dingin. Joni bersemangat membaca komentar dan membandingkan milikku dengan Ineke. Sigh. Bahkan setelah dapat kehidupan baru pun masih saja aku diseret dengan Ineke.

Sial!

***
Selesai ditulis pada 2 September 2024.

***
Halo, teman-teman. Terima kasih telah meluangkan waktu menengok cerita saya.

Hmmm gini. Cerita utama, POV Kenanga, tetap akan saya tulis sampai tamat di sini. Sementara itu, episode ekstra saya terbitkan di KaryaKarsa. :”( Maaf, ya. Berbayar.

Terima kasih atas pengertiannya. Hihihihi.

Salam sayang dan cinta untuk kalian semua teman-teman.

Semoga kalian selalu sehat dan diberi banyak keberuntungan!

Love you teman-teman.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang