Impianku, mimpiku, dan segala yang kupikir tidak mampu kuwujudkan. Ketakutan serta keputusasaan menjerat erat seperti tali yang melingkar di leher, membuatku sesak napas, dan sekadar memikirkan hidup untuk esok pun terasa berat. Ineke seperti maut. Dia membuatku kehilangan semangat hidup serta motivasi. Bahkan ketika ajal menjemput, ketidakberdayaan dan perasaan terkhianati masih melekat dalam benak.
“Bagaimana? Apa kamu tertarik menyumbangkan dua lagumu sebagai soundtrack film?”
Hingga kusadari bahwa lingkungan baru memberi perubahan secara signifikan terhadap diriku.
Handoko suatu sore menghubungiku melalui telepon. Dia menginginkan dua lagu yang kuciptakan dipakai sebagai bagian dari film.
Bagaimana Handoko tahu bahwa aku tengah menggarap suatu proyek?
Jawabnya, Mama memberi tahu Handoko mengenai keinginanku terjun ke dunia musik. Dia bahkan sempat mengirim rekaman asal, tidak profesional, mengenai salah satu musik instrumental buatanku yang kupersembahkan untuk Mama, ibu baruku.
Tidak kusangka Handoko berminat dan langsung menghubungiku. Jadilah, kami berdua makan siang di salah satu restoran Sunda. Duduk di atas tikar, makan tanpa sendok maupun garpu, menikmati bermacam lalapan dan sambal, tidak lupa ditemani suara alunan seruling. Sempurna.
“Boleh,” kataku menyanggupi, “berarti shooting videonya digabung dengan potongan film?”
Handoko mengangguk. Dia meraih lenca dan tahu goreng, meletakkannya di piring, kemudian menambahkan sambal. “Bisa kuatur. Anggap saja win win solution. Kamu sekalian promosi lagu, kami nggak perlu pusing mencari penyanyi. Lagi pula, tokoh Naya yang kamu perankan memiliki latar belakang serupa denganmu, ‘kan?”
Iya, kalau yang dia maksud bagian mati karena kecelakaan.
Ayam bakar di piringku mendadak kehilangan kelezatannya. Ingatan mengenai detik terakhirku amatlah menyakitkan. Aku terjebak, tidak bisa melarikan diri, dan menyerahkan semua warisan buah pikiranku kepada Ineke.
“Haha iya, mirip,” kelakarku mencoba menenteramkan kemarahan dalam hati. Kuambil sepotong timun dan mengunyahnya. Setelah menelan dan memastikan tidak akan tersedak gara-gara makanan, aku pun bicara, “Pasti bakalan seru.”
“Jelas. Om yang dengar saja langsung suka apalagi kalau selesai dipoles. Pasti bagus. Nggak usah panggil bapak atau pak, Om dan mamamu itu teman baik. Kamu panggil yang benar, ngerti?”
Tiba-tiba terbit ide dalam kepala. Ide buruk, tapi aku penasaran. “Kenapa nggak menggunakan jasa Ineke Arum? Bukankah dia juga bersentuhan dengan dunia tarik suara?”
“Asmara. Asmara,” dendang Handoko seolah aku baru saja menanyakan itik dan ayam enakan yang mana andai dibuat sebagai satai. “Dia memang punya nama, tapi dua lagu terakhir yang ia luncurkan nggak enak di telinga. Bagi Om, ya. Lebih enak lagu-lagu yang dulu dia punya.”
Jelas Ineke tidak mampu mengembangkan draft kasar yang belum kuselesaikan. Dia pasti menyewa jasa orang lain, yang tidak bisa menangkap jiwa dalam karyaku, dan menelan semuanya mentah-mentah.
“Lho, Asmara? Kamu nggak pengin nambah? Di lokasi shooting kamu orang yang paling banyak ngemil. Kenapa sekarang nggak pengin minta tambah?”
“...”
Aku lupa. Gara-gara sutradara ini reputasiku di internet berubah! Padahal aku ingin diingat oleh netizen sebagai wanita elegan, tapi sekarang fotoku makan beredar bebas. Itu belum termasuk orang-orang yang mengedit fotoku sebagai meme.
“Dua lagu yang Om penginkan sudah selesai, ‘kan?”
Kudorong semua keinginan melakukan pembalasan menyebarkan foto aib Handoko ketika makan. Itu pasti tidak ada gunanya. Siapa juga yang tertarik mengamati bapak-bapak makan? Kalaupun ada, pasti hanya golongan tertentu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...