Peran yang kumainkan tidak terlalu mendapat banyak sorotan. Dia hanya memperoleh sekian menit, bahkan mungkin hanya sekadar flashback dalam ingatan tokoh utama. Dialog yang perlu kuhafalkan pun tidak banyak memakan scene.
Sekalipun begitu, bukan berarti aku tidak perlu melakukan pendalaman. Handoko bicara kepadaku, “Kamu harus bisa menghidupkan Naya. Buat dia tampak nyata melalui dirimu.”
Naya, nama cinta pertama tokoh utama yang Arga perankan. Dia putri teman dekat tokoh utama yang meninggal karena kecelakaan. Ironis, ya? Ada sedikit kesamaan denganku, kecelakaan.
“Nggak perlu panik,” Rika berusaha memberi semangat. “Kamu pasti bisa melakukannya dengan baik.”
Kami berdua duduk di kursi yang disediakan oleh kru. Hari pertama memerankan Naya. Sejujurnya aku tidak merasa cemas maupun gugup. Tidak ada hal yang baru dalam arena perbintangan. Segala sesuatu tampak berkilau di luar, padahal tidak selalu seperti itu.
Sebagai Naya aku berdandan mengikuti arahan. Dress sederhana tanpa lengan. Kainnya berwarna kuning dengan hiasan motif bintang di bagian rok. Sepasang sepatu datar. Rambutku dibiarkan tergerai. Riasan pun harus mengesankan sisi lembut.
Secara garis besar Naya merupakan peri di hati tokoh utama.
“Lucu nggak, sih?” gurauku sembari memperhatikan Arga yang sedang berdiskusi dengan Handoko. “Aku dapat peran cinta pertama cowok yang bahkan nggak pengin melihatku ada di ruangan ini.”
“Jangan gitu deh.”
Ruang yang digunakan sebagai tempat pengambilan gambar tidak jauh berbeda dari ruangan musik yang dimiliki Cipta. Andai ada suamiku, pasti aku akan memamerkan keahlianku segila-gila-gilanya.
Iya, hari ini aku diminta memainkan adegan Naya yang sedang bermain piano. Handoko dan timnya tahu aku bisa memainkan lagu di piano sebaik ahli mana pun. Itulah yang ia incar dariku.
“Siap?” teriak Handoko.
Aku pun menyahut, meninggalkan kursi nyamanku, dan duduk di kursi piano. Semua orang sudah bersiap pada posisi masing-masing, tinggal menunggu intruksi dari Handoko.
“Action!”
Londonderry Air pun mulai berdenting. Lagu yang dipilih Handoko untuk dimainkan olehku, Naya. Jemariku menari lincah di atas tuts piano. Suasana di sekelilingku menjadi hening. Tidak ada Handoko, Rika, Arga ... siapa pun. Di sini hanya ada Naya dan musiknya.
Di denting terakhir, sejenak aku memejamkan mata, membiarkan musik menyelinap pergi dan mengucapkan salam perpisahan kepadaku. Kemudian begitu aku membuka mata, Mahendra pun muncul.
Mahendra merupakan nama tokoh utama yang diperankan Arga. Berbeda ketika berhadapan denganku, Asmara, Arga menampilkan senyum hangat dan pandangan mata yang membuatku memikirkan bahwa dia sedang memujaku.
Tentu saja tidak. Adapun yang dipuja Mahendra ialah, Naya.
Cukup hebat diriku mampu menahan diri tidak memaki Arga. Sebab Naya tidak mungkin melakukan itu kepada Mahendra. Dia manis, sementara aku pahit.
Tidak. Sekarang aku adalah Naya dan yang ada di hadapanku adalah Mahendra.
Titik.
***
“Mahendra, kamu nggak ngomong mau mampir.”
“Aku pengin buat kejutan,” ujarnya sembari mendekatiku. Ia mengulurkan tangan, membelai kepalaku dengan lembut. “Boleh enggak aku jadi penonton utamamu?”
Kuraih tangan Mahendra, menggenggam jemarinya, ingin merasakan panas tubuhnya. “Mungkin suatu saat aku akan menggelar konser tunggal.”
“Rasanya nggak rela, ya?” Perlahan ekspresi riang yang sedari tadi menghias wajah Mahendra pun perlahan surut. “Ada orang lain yang tahu kehebatanmu selain aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...