10

915 216 4
                                    

Sutradara Handoko datang setelah sepuluh menit. Dia ditemani oleh seorang pria, produser, yang terlihat sangat cocok memerankan karakter utama dalam drama mengenai CEO mengejar mantan istri. Menurutku, Arga dibuang saja dan biarkan produser ini yang menjadi peran utama. Dia, secara tampilan, jauh lebih menjual daripada Arga.

“Sandi,” bisik Joni seraya mengajakku berdiri menyambut kehadiran Handoko, “single dan menyebalkan. Saranku, jangan berulah dan membuatnya mempertimbangkanmu sebagai sampah industri hiburan.”

Semua orang pun berdiri. Handoko tidak mengatakan apa pun, langsung melenggang ke kursi utama ditemani Sandi, dan menyuruh salah satu staf agar melakukan persiapan.

Beberapa menit ke depan, aku menghabiskan waktu dengan mendalami pekerjaan Asmara.

Cukup membuatku bergidik karena ternyata peranku ialah, cinta pertama tokoh utama.

Sial. Aku ingin pergantian peran!

***

Sandi mengajak semua orang makan bersama di salah satu restoran. Tidak ada yang menolak. Barangkali setiap orang ingin saling mengenal agar mendapat “ikatan” dalam proses shoting nanti.

Joni dengan sigap mengajakku duduk di meja lain, terpisah dari meja utama yang ditempati oleh karakter penting dalam film. Arga, Ineke, dan Mira. Mereka bertiga makan bersama Sandi dan Handoko. Yang lain? Pemeran sampingan berkumpul dan menikmati santapan tanpa tatapan maut dari sutradara.

“Jarang nih bisa makan sehat,” celetuk Rika. Dia sudah menggasah ikan bakar, lalapan, dan nasi yang ada di piringnya seperti bukit mungil. “Asyik.”

“Nggak usah berharap semeja dengan Arga,” Joni memperingatkan. Dia mulai menyelamatkan ayam goreng dari Rika. Mungkin takut tidak kebagian.

Ponselku berdenting, tanda ada pesan masuk.

[Sayang, kapan kamu mampir ke rumah?]

Mama Asmara. Beberapa kali dia mengirimiku pesan. Namun, aku tidak memiliki nyali membalas pesan. Pertama, ada ganjalan dalam hati. Sedikit rasa bersalah karena tidak sanggup jujur. Lagi pula, aku ragu ada gunanya bersikap laksana pahlawan dalam novel epik. Para pahlawan dalam novel semacam itu ditakdirkan menjalani segalanya dalam kesendirian dan tragedi.

Sudah cukup bagiku. Aku muak dengan sengsara dan petaka. Lekas kumasukkan ponsel, sejenak menjatuhkan pandangan ke meja yang ditempati Ineke.

Ineke sedang berbincang dengan Sandi. Senyum tidak lekang menghias wajah. Dari luar dia terlihat jinak dan tidak berbahaya, tapi percayalah itu bohong belaka. Aku telah menghabiskan semua masa jayaku demi menguatkan fondasi Ineke. Dia bisa berada di sana, di kegemilangan, karena aku.

“Aku suka lagunya Ineke,” celetuk Rika. “Dia cerdas banget.”

Lagu? Itu ciptaanku. Semua lagu dan musik yang dilabeli sebagai milik Ineke sebenarnya merupakan buah hasil pikiranku. Orangtua Ineke memaksaku bekerja di belakang layar, tersembunyi, dan mengutamakan Ineke sebagai bintang.

Kucengkeram erat garpu, berharap bisa meredakan kemarahan yang bergolak dalam diriku. Aku telah berjanji tidak akan balas dendam. Kehidupan kedua, kesempatan baru, harus kuhabiskan dengan orang-orang yang kukasihi.

Akan tetapi, bila Ineke kali ini pun berniat menyakitiku sekalipun dalam raga Asmara....

Tidak ada jaminan aku akan tinggal diam.

Lekas kualihkan pandang, berpura-pura menikmati hidangan yang bagiku rasanya hambar. Bukan karena makanannya buruk, melainkan suasana hatiku telanjur rusak.

“Rika, sebaiknya kamu cari idola baru.” Aku menambahkan lauk di piring Rika. Dia terlihat sangat menyukai makanan dan semoga saja siapa pun yang ditakdirkan sebagai pasangannya akan cukup sabar memberinya makan dan kasih sayang. “Ada banyak idola keren yang bersih.”

“Hehe aku cuma suka lagunya doang kok,” Rika menjelaskan. “Abang KPOP dan mas JPOP lebih menggoda.”

Joni dan Rika mulai berceloteh mengenai bermacam hal. Aku tidak bisa mengikuti pembicaraan mereka karena pikiranku berkelana ke masa silam.

***

“Kamu nggak boleh egois!”

Kertas-kertas berisi partitur nada pun bertebaran, mendarat di lantai, dan terinjak-injak. Papa tidak peduli dengan hasil kerja kerasku. Dia menuding semua kertas, kemudian ke piano, dan memberiku tatapan sengit.

“Tanpa Ineke, kamu bukan apa-apa.” Papa menembakkan panah, melesat tepat ke dada, dan membuatku sakit. “Seharusnya kamu bersyukur Ineke mau menyanyikan lagu ciptaanmu.”

“Pa....”

Ineke terlihat seperti hendak menghentikan amukan Papa. Bisa saja dia maju dan menyeret Papa keluar dari ruanganku. Namun, tidak. Dia justru memilih bersembunyi dalam pelukan Mama. Sepintas kutangkap senyum mengejek di wajah Ineke. Kuharap mataku salah lihat. Ilusi, mungkin? Sayangnya suara hatiku terus saja memberi peringatan bahwa yang kulihat memang fakta.

Aku bersimpuh di lantai. Lututku sakit karena terkena goresan dari pecahan vas yang dibanting Papa. Air dan tangkai mawar merusak sebagaian kertas berisi partitur milikku.

“Kamu ada di sini berkat kebaikan Ineke,” Mama kali ini turut serta menghantamkan dukacita kepadaku. “Andai dia nggak melarang, kami mungkin akan langsung mendepakmu keluar dari sini. Lagi pula, kita nggak ada hubungan darah. Kamu hanyalah bayi yang kami pungut dari panti. Nggak lebih, nggak kurang.”

Kuharap saat ini aku memiliki cukup kemarahan yang mampu membuatku bergerak. Sayang diriku terpaku di tempat. Tenggorokkan terasa sakit, seakan ada tangan yang mencekikku dan membuatku kesulitan bernapas.

“Nggak boleh daftarin lagumu ke mana pun!” Papa melarang. “Kamu hanya diizinkan membuat lagu untuk Ineke!”

Ada di mana kebahagiaan yang dulu pernah menjadi milikku? Orangtua yang kupikir akan mengasihiku ternyata memilih mencampakkanku. Aku terbuang, terasing, dan tidak diinginkan oleh mereka.

“Pa, Kak Kenanga nggak boleh dibeginiin.”

“Ineke, kamu nggak usah ikut campur, ya?” Berbeda saat bicara denganku, Papa menggunakan nada suara halus kepada Ineke. “Dia nggak berhak bahagia bila kamu susah. Memangnya kenapa kalau dia menciptakan lagu dan memberikan haknya kepada kamu?”

“Aku nggak enak hati.”

“Sudahlah, Sayang,” kali ini Mama turun tangan. “Kamu nggak pantas kasihan dengan orang yang bahkan nggak sadar diri. Dia cuma anak pungut. Nggak pantas berharap menjadi bagian keluarga kita.”

Detik ini aku menyadari bahwa berharap kepada orang yang salah hanya akan membuatku semakin terluka.

***

Kutepis kenangan pahit dari benak. Ternyata kebencian yang kupikir telah mati itu masih mengakar kuat dalam hati. Ia menolak padam dan hanya ingin tumbuh semakin besar ... menjadi raksasa.

Orang-orang di sekitarku sudah selesai bersantap. Mereka mulai berkumpul dan beberapa mendekati Sandi maupun Handoko. Aku hanya ingin pulang dan itulah yang kuutarakan kepada Joni.

“Kita pamit dulu,” Joni menyarankan, “nggak baik langsung nyelonong pergi.”

Aku mengangguk, setuju.

Kami pun menghampiri Handoko dan Sandi. Arga ada di dekat mereka, sama seperti Ineke yang tiada henti bersikap manis bagai peri gula. Mira tidak kutemukan di mana pun, barangkali sudah pergi saat aku sibuk terjebak dengan masa lalu.

“Terima kasih atas santapan lezatnya,” puji Joni seperti karakter bapak-bapak dalam kartun lucu. “Sangat sedap.”

Sedap.

Sayangnya hatiku pedih sekali.

Andai ada Cipta, akan kuserap seluruh energi positif darinya.

***
Selesai ditulis pada 19 Agustus 2024.

***
Maaf hari ini nggak totalitas nulisnya. :”) Berisik banget di sekitar sini. Jadi, saya susah fokus. Hahahaha.

Terima kasih telah menengok Asmara dan semoga hari kalian selalu menyenangkaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!

Salam sayang dan cinta.

Love.

P.S: Jangan lupa minum air putih secukupnya agar terhindar dari dehidrasi.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang