Penayangan perdana film digelar di salah satu bioskop terbesar di Jakarta. Nonton bersama, pemain utama mulai memberi sambutan, dan tentu saja penonton akan diberi servis mata. Bukan rahasia lagi bila penggemar Arga paling bersemangat menyambut dan merekalah salah satu prajurit internet yang terkuat dalam menyerang Asmara. Namun, tidak perlu cemas. Aku ada Cipta. Dia kuajak, alias.... Bila ada neraka di bawah kakiku, tolong jatuh bersama saja biar rasanya romantis.
Semua pemain inti dan tim yang terlibat dalam pembuatan film pun mengenakan kaus putih bertuliskan judul film. Sayang aku tidak bisa menyeret Cipta ke depan bersamaku. Dia terpaksa duduk di kursi lain dan berkata kepadaku, “Nggak usah kecewa. Kan yang penting aku datang.”
Tentu itu tidak sama! Apalagi aku menangkap basah ada beberapa cewek yang ngiler dan ingin berkenalan dengan Cipta. Mentang-mentang dia mengenakan jins dan kemeja santai, aura suami-orang-lain langsung lenyap. Kadang ingin kupasang kertas ukuran A4 bertuliskan “dia suamiku, nggak usah pengin pegang” saja.
Bicara mengenai menginginkan milik orang lain, ada Ineke. Dia terlihat percaya diri berdiri di dekat Arga. Notabene di samping kiri Arga ada Handoko, sementara Mira memilih berdiri di dekatku. Kami semua menyambut penonton.
“...”
Tidak ada satu orang pun membawa spanduk. Maksudku, tidak ada satu manusia pun membawa atribut yang menyatakan sebagai penggemarku. Rata-rata mereka mengusung nama Arga, Mira, atau....
Naya dan Mahendra.
“Wah terima kasih atas sambutan meriah dari kalian,” ucap Handoko. Mic yang ia bawa terlihat seperti ulekan di tangannya yang gempal dan bulat. “Nggak nyangka bakalan ada yang mengusung kapal karam hahahahaha!”
Kapal karam. Tentu penonton tahu bahwa Mahendra tidak berakhir bersama Naya, hanya saja mereka tidak tahu penyebab dari karamnya kapal. Setahuku Handoko belum meluncurkan spoiler mengenai kepergian Naya dari kehidupan Mahendra.
Handoko terus berkicau seperti burung nuri, riang menyampaikan kesannya. Lalu, mic dioper kepada Arga. Penonton langsung riuh seperti rakyat yang menemukan raja terpilih. Mira pun mendapat respons serupa, positif. Secara keseluruhan, mereka berdualah yang paling diminati oleh penonton.
Mira menawariku mic. Untuk yang satu itu, aku hanya menggeleng. Tidak tertarik bicara. Mataku fokus mengamati suamiku. Takut dia disambar cewek gila.
Lantas mic pun berpindah tangan kepada Ineke. “Terima kasih,” katanya sembari melempar senyum palsu, “kalian benar-benar membuat kami semua merasa senang telah bekerja selama beberapa bulan lamanya.”
Kudengar dari Handoko, yang pada saat itu masuk mode gibah, Ineke merepotkan karena sering lupa dialog. Aneh sekali keteledoran Ineke tidak masuk tambang gosip.
“Arga sangat membantu,” Ineke melanjutkan. Dia bahkan berani melingkarkan tangan ke lengan Arga. Cerdas. Arga tidak mungkin berani terang-terangan mengempas....
Arga berani mengempas tangan Ineke. Dia bahkan sempat berkata, cukup keras hingga tertangkap mic dan disiarkan ke sepenjuru ruangan: “Tanganmu nggak usah kurang ajar.”
Sontak keheningan pun melanda bagai kutuk dari penyihir.
Ineke tertawa, atau mungkin berusaha terlihat tertawa, di hadapan kami. Dia menyelipkan rambut di belakang telinga, berusaha memberi kami kesan tidak ada apa pun yang baru saja terjadi. Padahal Arga mulai menjauh ... oke, dia pindah ke sisi lain. Tepatnya, berlindung kepada Handoko.
“Arga kadang bercandanya nggak ekstrem,” kilah Ineke. “Nggak kebayang Asamara bertahan hidupnya gimana sewaktu bersama Arga.”
Liciknya. Ineke melempar bom ke pangkuanku. Mau tidak mau, perhatian semua orang teralih kepadaku. Terbukti dari runtutan sorak dari penonton yang bersuara, “Naya! Naya gimana kabarnya?”
“...”
Terima kasih. Tidak ada yang peduli kepada pemain Naya. Mereka hanya mau tahu soal Naya-nya saja, bukan diriku. Terima kasih banyak atas perhatian yang tidak terlupakan.
Mic kembali dioper, jatuh ke tanganku. “Naya baik-baik saja,” ucapku terlalu cepat, yang membuat orang-orang ber-cieeeee. “Dia benar-benar baik-baik saja kok. Sebab Naya bukan tipikal cewek yang senang lihat orang terdekatnya sengsara. Dia nggak akan memanipulasi apa pun demi terlihat lebih baik dari siapa pun.”
Jeda sejenak. Kuperhatikan semua orang diam, menunggu penjelasanku.
“Naya merupakan teman yang dibutuhkan siapa pun,” aku melanjutkan. “Dia nggak akan membocorkan rahasia yang temannya percayakan. Kalau diibaratkan dengan sesuatu, ia seperti matahari; menyinari semua kehidupan, memberi tanpa berharap pamrih, dan sangat mengutamakan cita-cita.”
Kulihat ada penonton yang menyentuh dada, menyunggingkan senyum, dan ber-aaaw.
Tidak perlu banyak bicara. Lekas kukembalikan mic agar Handoko bisa mengurus sisanya.
***
Satu jam lebih tiga puluh menit. Bisa kupastikan semua orang menangis sewaktu menonton adegan Mahendra berpisah dengan Naya. Selama ini penonton hanya diberi kata kunci bahwa Naya pergi. Sekarang setelah mengetahui rahasia kepergian Naya, mendadak tatapan melas diarahkan kepadaku.
Untung sorotan paling banyak tetap pada Mira dan Arga. Kualitas mereka dalam memerankan suatu karakter tidak perlu dipertanyakan. Bagus.
Berbeda sekali dengan respons yang didapat Ineke. Siapa pun yang mengajukan Ineke sebagai karakter keji, ia pasti bisa menilai orang dengan tepat.
***
“Asmara, nggak ikut kita makan rame-rame?” tanya Mira.
Kupikir dia tipe yang tidak tertarik berdekatan dengan orang baru. Ternyata, tidak. Di belakang Mira semua orang sibuk berceloteh mengenai film dan reaksi penonton. Cukup melelahkan karena ada beberapa penonton yang minta foto bersama. Aku bisa lolos dari buruan karena langsung sembunyi di belakang Handoko.
“Mau pulang bareng suami,” tunjukku kepada Cipta yang mendekat.
“Heeee bagus deh.” Mira pamer senyum jail. Dia seolah menemukan sesuatu yang bisa digunakan sebagai bahan ejekan. Aku bisa tahu karena dia sempat melirik Arga dan senyum di wajahnya makin mengerikan, persis tokoh anime dengan niat terselubung.
“Oke deh. Bye,” salamku yang langsung kabur.
Aku sengaja menubrukkan diri kepada Cipta, yang untuk sigap menangkapku, dan menguburkan wajah di dadanya.
“Kamu lama banget, sih,” keluhku seperti kucing yang tidak diberi makan selama lima menit. “Kangen, kangen, kangen.”
“Kita cuma pisah sebentar doang.”
Aku mendongak, memberengut, dan siap bergaya manja. “Kan bagiku rasanya sama saja dengan seabad.”
Terdengar deham, deham buatan karena kencang sekali suaranya, dan membuatku menoleh ke belakang.
Handoko melambaikan tangan. “Makan bareng aja. Cipta, Om pengin kenalan!”
Kupicingkan mata, berharap bisa mengirim sinyal peringatan kepada Handoko.
“Asmara keponakan Om juga kok,” lanjut Handoko tanpa tahu malu yang disambut gelak tawa Mira dan yang lain. “Sini kenalan sama Om. Janji, Om nggak gigit. Kecuali kamu mau main-main sama keponakan Om.”
Cipta menuntunku ke kerumunan tim, senyum di wajah terlalu manis, dan membuatku ingin menggigit pipinya.
Handoko langsung merangkul leher Cipta dan memberinya jitakan sayang. Percakapan terjadi dan aku ingin menangis!
Suamiku diincar om-om!
***
Selesai ditulis pada 29 Agustus 2024.***
Saya kesal! Dari kemarin memburu tikus masiiiiiih saja nggak kena! Lem nggak mempan! Tikusnya licik!
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...