8

994 220 5
                                    

Keterlambatan Joni dalam menyelesaikan urusan membuatku kehabisan kesabaran. Begitu dia menelepon, mengabarkan betapa alot perkara yang ia urus, dan membuatku membuang sekian menit.... Akhirnya kuputuskan mengajak Rika pulang. Lagi pula, sopir plus mobilnya milik Cipta. Tidak perlu sakit hati. Joni pun iya-iya saja saat kukatakan, “Aku pulang duluan.” Respons yang kudapat ialah, oke.

Sebelum pulang kuajak Rika menemaniku ke toko buku. Di mal terlalu ramai, maka toko buku merangkap kafelah yang menjadi tujuanku. Di sana aku menawarkan Rika agar membeli apa pun yang ia incar. Ternyata, dia memilih berburu komik.

Tampilan Rika manis seperti kucing, menurutku. Namun, tidak dengan genre bacaan yang ia cintai. Tokyo Ghoul, Gyo, Uzumaki, dan beberapa komik dalam bahasa Inggris yang kutebak isinya tidak jauh dari teror, kutukan, dan hantu yang tidak jelas cara menghabisinya.

“Kan boleh pilih sesuka hati,” Rika membela diri. “Aku cuma akan ambil dua! Jadi, tolong pilih mana yang paling oke?”

Membaca bisa menjadi salah satu metode melepaskan stres dan mengisi kekosongan dalam diri seseorang. Itulah yang kulakukan seumur hidup sebagai mekanisme pertahanan diri agar tidak menyakiti diri sendiri hanya karena ketiadaan kasih sayang orang sekitar. Lagi pula, semua pengeluaranku akan ditanggung Cipta. Dia memberi Asmara kartu kredit yang akan kumanfaatkan dengan sukarela tanpa paksaan. Terima kasih.

“Oke,” ucapku sambil menepuk pelan bahu Rika, “kamu boleh borong komik mana pun. Apa kamu menemukan terjemahan komik Jepang terbaru? Aku sarankan kamu coba baca semua yang kamu inginkan.”

Rika langsung berseru riang, tidak peduli tatapan tidak senang pengunjung yang merasa terusik. Dia langsung melesat ke rak komik, kulihat sempat menyambar keranjang, dan mengisinya dengan komik.

“...”

Aku yakin komik berdarah. Selera menantang dan aku rasa dia memang tipe yang menantang diri sendiri dengan baca genre menengangkan.

Berbeda dengan Rika, aku ingin mencari sesuatu yang bisa menghiburku. Untung di toko buku ini tidak hanya menyediakan terbitan lokal, tapi juga luar. Ada seri novel mengenai gadis cupid berambut merah muda. Aku sempat membaca buku pertama yang mengisahkan perjuangan si nona cupid di kerajaan sihir. Ehem rating dewasa, mengoleksi cowok, dan fantasi. Akan kusembunyikan dari Cipta, dia tidak perlu tahu kesukaanku.

Tepat pukul empat sore kami, aku dan Rika, keluar dari toko buku dengan ekspresi puas. Terutama, Rika. Dia bersenandung dan langsung membaca Gyo begitu kami telah aman di dalam mobil.

“...”

Aku tidak mungkin sanggup makan setelah melihat orang berubah jadi makhluk menakutkan. Tidak. Aku perlu menyembuhkan jiwaku yang rapuh ini dengan novel yang tepat. Jangan sampai setiap kali melihat pecel lele, maka adegan ikan berkaki tengah menginvasi suatu pemukiman akan menghantui selera makanku!

“Ih seruuuuu!” celoteh Rika. Dia bahkan tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh dengan isi buku. “Hmmm pengin ikan bakar.”

“...”

Rika memang juara. Tolong beri tahu aku cara menjaga nafsu makan setelah membaca teror makhluk mutasi. Sebab aku butuh.

Segera!

***

“Kenapa?”

Makan malam. Menunya ayam goreng tradisional. Untung tidak ada ikan dan aku akan mengamuk bila ada ikan dalam menu makan malam.

“Asmara?”

Di seberang meja duduklah Cipta. Dia tampak segar dalam balutan pakaian santai. Hmmm dia pakai baju apa pun tetap keren di mataku. Betapa aku ingin duduk di pangkuan Cipta, memeluknya, dan merengek ingin dimanja olehnya.

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang