4

1.1K 228 6
                                    

Betapa menyenangkan bisa menikmati hidup sesuai keinginan. Tidak ada pretensi. Murni mengikuti suara hati. Sekalipun kegiatan yang kupilih terbilang jauh dari produktif, tetapi aku sangat menyukainya.

Bangun pagi, mandi, mengenakan pakaian nyaman: kaus longgar dan celana panjang berbahan lembut. Sempurna.

Aku memilih sarapan berupa roti panggang, telur mata sapi, dan sosis goreng. Menu yang dulu tidak bisa kusentuh karena orangtuaku menilai makanan semacam itu tidak elite. “Kamu nggak dibesarkan oleh gelandangan, jangan makan dalam porsi besar. Malu-maluin.” Begitulah komentar yang sering mereka lontarkan kepadaku.

Kini kebebasan memilih tergenggam erat di tangan, takkan kulepas. Demi apa pun akan kuperjuangkan, termasuk....

Termasuk menikmati Cipta. Ehem tentu saja menikmati keberadaannya. Walau aku tidak keberatan hubungan kami maju satu atau barangkali beberapa langkah lebih jauh.

“Kamu kelihatan senang sekali.”

Cipta memilih menikmati nasi goreng. Pagi ini dia terlihat menggiurkan dalam seletelan kerja. Sayang sekali dia tidak minta pertolonganku memakai dasi. Andai minta tolong, pasti kubantu. Setelahnya aku bisa curi satu dua kesempatan seperti yang sering digambarkan dalam novel panas bertema CEO dan istri manisnya. Sigh.... Sayang sekali tidak ada peluang bagiku merealisasikan ide tersebut. Ups salah. Belum saja.

“Ngelihat kamu sarapan bersamaku cukup membantu meningkatkan hormon kebahagiaanku,” pujiku tanpa malu-malu. “Kamu nggak kepikiran masuk dunia hiburan? Sebagai aktor? Pasti ada banyak sutradara bersedia menjadikanmu pemeran utama.”

Cipta langsung terbatuk. Dia meraih gelas, menenggak banyak-banyak. Kemudian setelah meletakkan gelas di meja, ia menepuk pelan dada.

“Kenapa? Kamu nggak biasa dipuji, ya?” godaku karena gemas dengan tingkah lakunya. “Oke deh. Lain kali aku akan berhati-hati dalam memujimu.”

“Asmara, kamu seperti orang asing. Maksudku, selama ini aku berusaha menerima semua tingkah lakumu.”

Oh sepertinya akan terjadi pembicaraan serius di pagi hari. Gawat. Aku lupa akan Asmara yang tidak tertarik memiliki hubungan romantis dengan Cipta. Baginya hanya ada satu pria dan itu bukan Cipta. Baiklah, akan kutimpakan kesalahan pada ketampanan Cipta. Iya, ketampanan Cipta bersalah. Salah besar. Sebab gara-gara pesonanya aku lupa daratan.

“Aku tahu,” ucapnya melanjutkan topik pembicaraan, “bahwa pria yang kamu cintai bukan aku. Namun, pernikahan yang kita jalani haruslah adil bagimu. Asmara, tolong jangan memaksa dirimu sendiri mengubah hati ... aku cukup dengan situasi kita....”

Lekas kuletakkan peralatan makan, tidak berniat melanjutkan santapan. Nafsu makanku telanjur menguap. Asmara yang tidak suka Cipta. Dia, bukan aku. Bagiku Cipta memenuhi segala yang kuinginkan ada pada seorang pasangan.

“Cipta,” kataku dengan nada tegas, berharap dia bersedia mendengarkan seutuhnya, “sepertinya kita berdua perlu merombak segalanya. Aku memang terpaksa menikah denganmu, sama sepertimu. Sebagai putri kesayangan, anak yang selalu mendapatkan apa pun, belajar menghadapi kenyataan ternyata butuh ekstra kekuatan.”

Sejauh ini Cipta mendengarkanku. Fokusnya hanya padaku. Aku tidak tahu cara menjelaskannya, tetapi instingku berkata dia memang mendengarkanku.

“Apa kamu pernah mendengar bahwa cinta bisa tumbuh karena terbiasa?” tanyaku sekadar ingin menguatkan argumen milikku. “Sama seperti itu. Perasaanku perlahan surut. Aku sadar bahwa pilihan orangtuaku benar. Bila dia, pria yang kucintai, membalas perasaanku ... bukankah seharusnya dia menentang pernikahanku dan berusaha merebutku darimu? Ternyata enggak. Dia tidak peduli. Dari situlah aku sadar bahwa perasaanku memang nggak penting.”

Asmara Jingga (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang