Makan malam bersama. Sama sekali tidak menyenangkan. Terlebih Handoko memilih restoran yang menyediakan meja lebar dan besar, yang menurutku cocok untuk rapat, dan membuat semua orang bisa saling mengenal satu sama lain lewat kerapatan ... tidak ada privasi.
Kursi mengelilingi sebuah meja bundar. Pada bagian tengah meja terdapat lingkaran khusus yang bisa diputar mengikuti keinginan pemakainya. Bermacam menu diletakkan di atas sana, nanti siapa pun yang ingin mencicipi sesuatu tinggal menggerakkan lingkaran tersebut.
Aku memilih duduk di samping suamiku. Alias, aku menculik Cipta agar dia duduk di samping Handoko sementara bagian kanan kutempati. Jangan sampai ada satu cewek pun, terutama yang masih lajang, berani menyabotase kursi. Bukan bermaksud berprasangka buruk, melainkan sedia payung sebelum hujan.
Arga langsung menempati kursi di sebelah kiri Handoko. Dia bahkan sengaja meneriakkan nama Mira agar duduk di sampingnya, menutup kemungkinan Ineke mengambil alih.
Itulah yang tidak kupertimbangkan. Bahwa ada kemungkinan Ineke memilih duduk di sampingku. Andai ada Joni atau Rika, sudah pasti mereka kuberi komando agar menutup akses cewek mana pun menjilat Cipta. Sayang aku kurang cermat hingga tidak mempertimbangkan Ineke bisa saja memilih duduk di sampingku.
“Makan! Makan!”
“Jangan ambil udangku!”
“Setan! Berani menjarah ayam lada hitam!”
“Pak Bos, aku mau makan sapi panggang!”
“Siapa yang nendang kakiku!”
Celoteh riang terjadi di meja makan. Handoko tidak keberatan menyaksikan aksi saling sikut gara-gara memperebutkan udang. Arga bahkan secara khusus memelototi seorang cowok yang bermaksud menggasak cumi terakhir.
“Heh jangan rusuh,” Handoko menenangkan, “tinggal pesan lagi.”
Semua orang pun berhenti bersikap liar. Pelayan datang dan pergi, membawa piring makanan baru maupun piring kosong. Udara berbau bumbu dan daging panggang, membuat perutku bergemuruh.
“Kamu suka ayam suwirnya?” Cipta sengaja mengamankan ayam suwir bumbu rica-rica untukku. Dia tidak peduli tatapan memelas Mira yang ternyata juga mengincar menu yang sama. “Nanti aku akan minta Bibi masak ayam rica-rica.”
“Suamiku baik deh,” pujiku, mengabaikan tatapan iri dan dengki semua orang.
Handoko terbahak. Dia menepuk punggung Cipta. Sangat keras. Aku takut tulang Cipta rontok gara-gara tidak mampu menghadapi tekanan. “Om bangga. Ponakan nggak salah pilih suami.”
“Makasih, Om,” sahutku terlampau bangga. “Aku mau tumis brokoli.”
Cipta pun hendak menggerakkan lingkaran meja, tapi piring berisi tumis brokoli berpindah posisi dan berakhir di hadapanku.
“Makan aja,” Arga menawarkan, “sebelum diburu Mira.”
Mira terbatuk, meraih gelas, dan minum. Dia memelototi Arga seolah hendak berkata, “Hei kenapa bawa-bawa aku, sih?”
Berterima kasih? Tidak perlu. Aku tidak ingin menyenangkan Arga demi kepentingan apa pun. Lagi pula, Ineke telanjur mengulurkan tangan dan merebut tumis brokoli. “Maaf, aku pengin banget nyicip tumis sayurnya.”
Sepengetahuanku Ineke tidak punya minat berlebih terhadap brokoli. Dia akan makan secukupnya, tapi tidak pernah sampai meraup sepiring penuh.
“Asmara, kamu nggak keberatan, ‘kan?”
“Makan aja,” aku mempersilakan.
Ineke mendorong piring kepadaku. “Buat kamu saja,” katanya dengan nada suara seperti orang terjajah, “kelihatannya kamu ... maaf, ya? Maaf. Aku nggak pengin ngeruskan selera makanmu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...