Secara keseluruhan tampilan yang kupamerkan amat sempurna. Aku menjawab pertanyaan tanpa eror, bertahan dengan senyum palsu meskipun Arga menguarkan aura pembunuh, dan menyelesaikan tanggung jawab sebagai bintang tamu.
Sempurna, ‘kan? Well sangat sempurna.
Selesai menunaikan tugas, aku menunggu Joni di suatu lorong. Duduk di bangku, menikmati novel yang baru saja kubeli di salah satu aplikasi baca, dan mengabaikan tatapan ingin tahu siapa pun.
Joni ada tugas dadakan dengan salah satu artis yang ia urus. Kebetulan artis itu juga ada di studio yang kudatangi. “Kamu nggak keberatan nungguin aku?” Tentu saja kujawab pertanyaan Joni: “Aku tungguin kok.” Sejenak dia memberiku ekspresi tidak percaya, tapi lekas ia abaikan dan memilih pergi menyelesaikan tugas seperti seorang kesatria yang hendak menghadapi naga hijau penunggu gua.
Jadilah aku ditemani Rika. Dia sibuk mengecek sesuatu di ponsel. Ralat, menonton video kucing di TikTok. Kami berdua hanyut dalam kesibukan masing-masing.
“Apa yang sedang kamu rencakan?”
Akan tetapi, kedamaian yang kurasakan hanya berlangsung sejenak saja. Arga yang kupikir akan langsung lewat begitu saja ternyata memilih singgah sejenak menengokku. Dia terlihat menjulang. Tidak ada satu pun keramahan melekat di wajah. Ketegangan, kecurigaan, dan kemarahan. Hanya itulah yang kuserap dari caranya mengamatiku.
Arga memasukkan kedua tangan di saku celana. Ia mengabaikan sorot keingintahuan yang diluncurkan beberapa orang. Untung saja mereka memilih meninggalkan kami dan fokus pada pekerjaan. Andai saja Arga bisa meniru para pekerja yang mungkin saja gaji di bawah UMR, pasti aku bisa melanjutkan episode berikutnya perihal novel yang tengah kunikmati.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya, ya?” sindirku, kusunggingkan senyum sinis. “Kenapa kamu berlagak jagoan begitu?”
“Asmara, aku harap kamu berhenti mengganggu orang lain,” ia memberiku saran. Nasihat yang jelas tidak kubutuhkan. “Kapan kamu belajar dewasa? Kenapa kamu senang memaksakan kehendak kepada orang lain cuma demi kepuasaanmu?”
Kuistirahatkan ponsel ke pangkuanku. Jelas Arga akan menyedot waktu santaiku. Rika pun hendak mengucapkan sesuatu, tetapi kutahan dengan cara menyentuh lembut bahunya. Cukup susah melakukan gerakan semacam itu, terlebih ada ponsel dalam tanganku.
“Asal kamu tahu,” ujarku seraya memamerkan layar ponsel, tepat di episode terakhir yang kubaca, “aku nggak suka diganggu saat baca. Lalu, yang kamu lakukan sekarang ini termasuk dalam tindakan merugikan orang lain.”
Arga mendengkus, sinis. Dia menggeleng pelan sembari menahan tawa yang di telingaku terdengar keji. “Yang kamu lakukan kepadaku jauh lebih kejam daripada ini, Asmara.”
Iya, dia benar. Tindakan Asmara mengekori Arga, menyerang semua cewek tanpa peduli latar belakang mereka hanya karena kedapatan berdekatan dengan Arga, dan ngotot ikut tampil dalam acara apa pun yang dibintangi Arga ... semua itu jelas menyebalkan. Aku pun tidak akan menampik ide melempar Asmara ke laut.
Hanya saja aku bukan Asmara. Entah penjelasan ilmiah yang sanggup mendefinisikan fenomena perpindahan jiwa dalam raga seseorang, apa pun itu, aku tidak tahu. Notabene aku tidak bersalah, seharusnya. Namun, di mata orang luar akulah Asmara. Si penguntit Arga.
“Benar,” kataku menyetujui. Kutarik ponsel, meletakkannya di pangkuan. “Maaf, ya? Tentu saja kamu nggak mungkin mampu memaafkanku. Terlebih semua tindakan yang kulakukan kepadamu itu sangat menjengkelkan.”
“Kamu sadar, tapi tetap kamu lakuin,” serang Arga. Ibarat gunung, dia sekarang akan meledak dan memuntahkan magma beserta kawan-kawannya. “Selama ini aku bersabar demi menghormati orangtuamu, tapi.... Tapi, kalau kamu berharap menggoda kesabaranku....”
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Jingga (Tamat)
RomanceTidak peduli sebanyak apa pun usaha yang kukerahkan agar dicintai dan bisa diterima oleh keluarga maupun orang yang kukasihi, hanya berbuah pengkhianatan dan kepahitan. Bahkan hingga di ujung napas terakhirku, segalanya pun semakin jelas bahwa aku t...